Depagnias Weblog

IKHLAS BERKHIDMAD : UPAYA MEWUJUDKAN MASYARAKAT HUMANIS

MADRASAH IBTIDAIYAH DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL “KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN PENGELOLAAN SEKOLAH

OLEH : ASRUL NASUTION, S.Pd

I. PENDAHULUAN

Madrasah merupakan instiusi pendidikan yang bercorak keislaman. Posisi ini menjadi strategis dari sisi budaya di mana karakter keislaman dapat dibangun secara moderat. Madrasah juga strategis dari sisi politis di mana eksistensinya dapat dijadikan sebagai p arameter kekuatan Islam. Urgensi madrasah ini dalama tataran yang lebih makro dapat dilihat sebagai representasi wajah dan masa depan Islam Indonesia.
Madrasah telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah Madrasah di Indonesia, serta besarnya jumlah Siswa pada tiap Madrasah menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral. Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan terhadap Madrasah, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan Madrasah keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa Madrasah bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang ada.
Madrasah yang dahulu terpolarisasi dalam sistem Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C.Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, Madrasah menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia Madrasah.
Sebagai lembaga, Madrasah dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Madrasah juga berusaha untuk mendidik para Siswa yang belajar pada Madrasah tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya disatu sisi serta mendalam penguasaan informasi dan tekhnologinya disisi yang lain.
Karena itu, menurut Tholkhah, Madrasah seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues); 2) Madrasah sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) Madrasah sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika Madrasah mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agen perubahan agent of change.
salah satu representase wajah madrasah di negeri ini adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) setingkat Sekolah Dasar (SD). Sebagai sebuah institusi di tingkat dasar Madrasah Ibtidaiyah (MI) memiliki peran yang cukup vital karena merupakan institusi pendidikan di tingkat dasar yang berperan ganda, tidak hanya mengenalkan ilmu pengetahuan secara moderat namun juga melakukan transfer nilai-nilai keagamaan sekaligus, sehingga tentunya diperlukan pengelolaan yang baik dan profesional. Sehingga dalam hal ini kebijakan dan manajemen yang baik untuk mengelola Madrasah Ibtidaiyah menjadi sebuah keniscayaan ditengah pelaksanaan Sisdiknas yang telah mengalami perbuhan yang cukup sigifkan.

II. Kebijakan dan Manajemen Pengelolaan Madrasah
Pengelolaan kegiatan pendidikan pada Madrasah adalah kegiatan inti untuk terwujudnya pendidikan yang bermutu. Untuk mewujudkan mutu kinerja di madrasah dan mutu lulusannya, maka madrasah harus dikelola secara profesional. Pengelolaan Madrasah yang profesional minimal memenuhi standar nasioal pendidikan.
Dalam PP RI NO. 19 THN. 2005 TENTANG STANDAR PENDIDIKAN NASIONAL dijelaskan Pengelolaan Satuan Pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas. Dalam hal ini pelaksanaan Manajeman Berbasis Sekolah (MBS) menjadi keniscayaan dalam melakukan pengelolaan Madrasah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah model pengelolaan penyelenggaraan sekolah yang kewenangannya diberikan seluas-luasnya kepada pihak sekolah untuk mengelola berbagai sumber daya pendidikan dengan melibatkan peran serta masyarakat sebagai lingkungan pendukung. Melalui MBS diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan ini sebagai solusi alternatif dari system manajemen terpusat yang dianggap kurang kondusif dalam melibatkan peran serta masayarakat. Selain itu Manajemen berbasis sekolah merupakan upaya demokratisasi dan penghormatan terhadap budayalocal.
Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk: Meningkatkan peran serta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, dan pemerintah dan mutu sekolahnya; Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai; Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat; Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan dengan daerah dan sekolah masing-masing. Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.
Dalam pelaksanaan pengelolaannya, setiap madrasah harus memiliki pedoman yang mengatur tentang :
a. Kurikulum tingkat madrasah dan silabus
b. Kalender pendidikan.akademik, yang menunjukan seluruh kategori aktivitas madrasah selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan, dan mingguan.
c. Strukutr organisasi Madrasah.
d. Pembagian tugas dianatara pendidik
e. Pembagian ti=ugas di antara tenaga kepednidikan.
Setiap Madrasah juga harus dikelola berdasarkan rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran rinci dari rencana kerja jangka menengah madrasah yang melipuiti masa 4 (empat) tahun.
Rencana kerja tahunan melipuri :
a. Kalender pendidikan akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan ekstrakurikuler, dan hari libur.
b. Jadwal penyusunan kurikulum tingkat madrasah untuk tahun pelajaran berikutnya.
c. Mata pelajaran yang ditawarkan pada semester gasal.
d. Pnugasan pendidik pada mata pelajaran dan kegiatan lainnya.
e. Buku teks pelajaran yang dipakai pada masing-masing
f. Jadwal penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pembelajaran
g. Pengadaan, penggunaan, dan persediaan minimal bahan pakai.
h. Program peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan yang meliputi sekurang-kurangnya jenis durasi, peserta, dan penyelenggara program.
i. Jadwal rapat Dewan Pendidik, rapat konsultasi madrasah dengan orang tua/waliu peserta didik, dan rapat madrasah dengan komite madrasah, untuk jenajng pendidikan dasar dan menengah.
j. Rencana anggaran pendapatan dan belanja madrasah untuk masa kerja satu tahun.
k. Jadwal penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja madrasah untuk satu tahun terakhir.
Pengelolaan Madrasah dilaksanakan secara mandiri, efektif, efesien, dan akuntabel, dalam pelaksanannya madrasah yang tidak sesuai dengan rencana kerja tahunan harus mendapat persetujuan dari rapat dewan pendidikan dan komite madrasah. Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala madrasah kepada rapat dewan pendidik komite madrasah.
Kebijakan Pengelolaan madrasah pada gilirannya akan mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing – masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program – program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing – masing.
III. Kerangka kerja dalam Kebijakan dan Manajemen pengelolaan sekolah
Dalam kerangka kebijakan dan manajemen pengelolaan sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor – koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;
Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
• pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
• bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
• pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Personil sekolah; sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
III. Madrasah Ibtidaiyah dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Dalam perkembangannya madrasah berlangsung sangat cepat. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum. Paling tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di MI. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di Indonesia.
Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta. Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan sekitar 88,1 persennya merupakan madrasah milik swasta.
Melihat kenyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah dalam hal ini Mandrasah stingkat Ibtidaiyah (MI) memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, Madrasah mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Proses pengembangan dunia Madrasah dalam hal ini Madrasah setingkat Ibtidaiyah (MI) selain menjadi tanggung jawab internal Madrasah, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta Madrasah dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan Madrasah di Indonesia. Keistimewaan Madrasah dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di Madrasah. Madrasah sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.
Bahkan dalam PP RI NOMOR 19 THN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Standar Kompetensi Lulusan di jelaskan pada pasal 26 ; Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian akhlak mulia serta ketrampilan unutk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Dalam kaitan tersebut diatas Keberadaan Madrasah Ibtiaiyah (MI) menjadi sangat strategis dalam hal pembinaan Akhlak mulia karena sejak awal Madrasah Ibtiaiyah (MI) telah koncern dalam pembinaan Akhlak dan moral para peserta didiknya.

IV. PENUTUP
Melihat kondisi diatas ternyata posisi Madrasah setingkat Ibtidaiyah (MI) dalam sistem pendidikan nasional memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan Madrasah terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, Madrasah Ibitdayah (MI) harus bisa merespon dan berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Madrasah dalam hal ini (MI) tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau terbelakang. Karena posisi Madrasah dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Maret 20, 2008 Posted by | Tidak Dikategorikan | | Tinggalkan komentar

MENYOAL REVITALISASI MADRASAH : ANTARA PENINGKATAN MUTU MADRASAH DAN MADRASAH BERMUTU

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sebagai sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri Pendidikan memiliki peran yang teramat urgen bagi kehidupan Manusia. Dengan pendidikan maka manusia akan mampu mengejawantahkan potensi kemanusiaan dan ketuhanan dalam dirinya. Sebab Manusia pada dasarnya adalah mahkhluk yang fitrah, tanpa dosa seperti kertas putih tanpa tulisan. Bahkan Islam mengabadikan itu lewat Sabda Rsulullah SAW yang artinya, ” tiap-tiap manusia dilahirkan pada dasarya adalah fitrah, Orang tuanyalah yang menjadikan nya Nashrani, Yahudi dan Majusi”. Sehingga kedepan dalam proses pengembangan Manusia, Pendidikanlah yang mengantarkannya menjadi manusia yang sadar akan visi dan misi ketuhanan dan kehidupannya.

Dimensi spritual ini adalah salah satu ciri khas pengembangan SDM dalam Islam. Dan ciri khas inilah yang akan dan seharusnya mampu memberi jawaban atas kekosongan yang sedang dan akan terjadi di dunia Barat yag sekuler. Pendidikan yang dibingkai dengan nilai-nilai spritual pada dasarnya sejalan dengan gerak dan dinamika sosial. Dalam kaitan itu manusia harus mampu mengimbangi gerak dan denyut kehidupan sosial dengan kemampuan Intelektual, penguasaan informasi dan tekhnologi dan bahkan meminjam istilah Nur Khalis Madjid (Cak Nur) Kecakapan Ilahiyah, ini artinya apapun kemampuan dan kecakapan manusia tanpa dibungkus dengan kesadaran akan nilai-nialai ketuhanan, pendidikan yang diperoleh hanya akan menjadi ngawur dan merusak dimensi personal dan sosial manusia (Split Of Social and Personality). Meminjam analogi Qodri Azizi sebagai sebuah ”pertandingan” atau kompetisi antara Adam dan Malaikat, yang pada akhirnya Adam keluar sebagai pemenang karena ilmunya.

Menelisik hal diatas, madrasah sebagai bagian dari institusi pendidikan yang bercorak keislaman memiliki posisi strategis dari sisi budaya di mana karakter keislaman dapat dibangun secara moderat. Madrasah juga strategis dari sisi politis di mana eksistensinya dapat dijadikan sebagai parameter kekuatan Islam. Urgensi madrasah ini dalam tataran yang lebih makro dapat dilihat sebagai representasi wajah masa depan Islam Indonesia.

Sejatinya. Pendidikan madrasah menjadi persoalan yang asasi ketika dihadapkan pada sekian persoalan kehidupan manusia, apatah lagi kehidupan kebangsaan. Terpinggirkannya Pendidikan madrasah dari agenda besar pemerintah memberikan gambaran betapa kondisi pendidikan madrasah kita masih tersubordinasi dengan agenda besar Pemerintah yang lain. Dalam hal ini kelihatan Pemerintah lebih Concern dengan Pengembangan pendidikan sekuler, Pertahanan Keamanan (HANKAM) terlihat dengan besarnya anggaran mereka, Pembenahan infra strukutur dan Tata Kota yang kian hari menggusur kehidupan para PKL (Pedagang Kaki Lima), Bahkan sekian Proyek Mega Miliar pengembangan Industri berskala besar.

Hal tersebut menjadi Anthithesis dengan upaya dan komitmen Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ketiga. Semakin di pinggirkannya Pendidikan madrasah di banding dengan sektor-sektor yang lain semakin memunculkan begitu banyak persoalan pendidikan yang kian menggelayut yang jika tidak segera diatasi akan menjadi gunung es yang kapan saja dapat memuntahkan laharnya.

Namun, seiring dengan berbagai tuntutan baik oleh Guru, maupun orang-orang yang berkompeten dalam dunia pendidikan, Pemerintah akhirnya sadar dan buru-buru mengambil upaya yang cukup responsif dengan menganggarkan sektor pendidikan sebesar 20% melalui APBN dilanjutkan dengan mengubah berbagai persoalan prinsipil terhadap dunia pendidikan kita, sebut saja, Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Curriculum Based Competency), yang kemudian mengkerucut menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dalam hal Pengembangan mutu Guru juga telah diberikan beberapa bantuan semisal, bantuan BKG, BGK, MGMP, KKG, block Grant dll, bahkan untuk meningkatkan pengembangan madrasah diberikan bantuan semisal Imbal Swadaya, Penambahan USB, RKB, penyediaan alat-alat Laboratorium, dsb. Upaya serius pemerintah tersebut merupakan angin segar bagi kehidupan dan Pengembangan madrasah kedepan.

Dengan berbagai perubahan dan pengembangan tersebut diharapkan terjadi perubahan yang signifikan terhadap kondisi pendidikan kita, bahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah, maka status madrasah telah disamakan dengan sekolah umum melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri tahun 1975, No. 037N11975 dan No. 36 tahun 1975 tanggal 24 maret 1975. SKB 3 (tiga) menteri tersebut menandakan adanya peningkatan mutu madrasah dan didalamnya ditetapkan bahwa, 1. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, 2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih tinggi, 3. Siswa setingkat madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Begitu besarnya perhatian pemerintah itu tidak seharusnya membuat para stakeholders madrasah menjadi puas dan bergembira tetapi yang terpenting adalah kemampuan madrasah untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, mutu dalam proses layanan pendidikan sebagai kinerja manajemen madrasah dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan hasil akhir yang berupa prestasi akademik dan non akademik siswa yang mampu bersaing dan sejajar dengan berbagai sekolah yang unggul dan menjadi favorit bagi peserta didik. Orang tua, masyarakat, pemerintah, studi lanjut dan dunia usaha.

Sehingga dengan demikian peningkatan mutu madrasah dan madrasah bermutu menjadi sebuah keniscayaan ditengah-tengah pergulatan dan aksi pendidikan Indonesia, persolannya adalah bagaimana paradigma pendidikan yang ada dapat memberikan kontribusi ideal bagi percepatan peningkatan mutu madrasah dan madrasah bermutu.

Penulis tidak akan menjabarkan seluruh input yang ada untuk mempetakan kondisi madrasah kita karena jujur harus diakui bahwa perbedaan kondisi cultural, latar belakang, dan sosial budaya suatu daerah sangatlah berbeda-beda. Untuk itu, penulis akan melihat kondisi real input yang ada di daerah penulis sebagai bahan kajian dan analisa. Dengan sebuah harapan bahwa hadirnya tulisan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan untuk kembalil melakukan revitalisasi madrasah.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.3 Apa sajakah komponen input yang harus dimiliki oleh Madrasah untuk dapat merevitalisasi Mutu madrasah dan Madrasah bermutu ?
1.4 Bagaimana hubungan antara peningkatan mutu Madrasah dengan upaya peningkatan Madrasah bermutu ?

1.3 PEMBATASAN MASALAH

Melihat kondisi yang ada penulis melihat perlunya pembatasan masalah agar tidak melebar kepada persoalan-persoalan yang lain, mengingat luasnya pembahasan persoalan madrasah, maka penulis membatasinya pada wilayah beberapa komponen sebagai input yang sangat dibutuhkan bagi peningkatan mutu madrasah, dan akan diakumulasi pada peran central guru dalam peningkatan mutu madrasah. Sehingga akan terjawab bagaimana signifikannya peran guru dalam hal peningkatan mutu madrasah madarasah bermutu.

1.4 TUJUAN PENELITIAN
Penulisan sederhana ini bertujuan untuk mengetahui :
1.5 Input yang harus dimiliki oleh madrasah agar dapat merevitalisasi mutu madrasah sebagai upaya untuk menghadirkan madrasah bermutu.
1.6 Hubungan antara peningkatan mutu madrasah dengan peningkatan madrasah bermutu.

1.5 METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, yakni penelitian yang menjadikan data, literatur (buku-buku), dan bahan-bahan perpustakaan lainnya sebagai bahan rujukan. Metode yang dipergunakan adalah :
1.6 Metode Deduktif
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dari hal-hal yang sifatnya umum menuju ke hal-hal yang bersifat khusus.
1.7 Metode Korelasi
Metode ini menggunakan cara-cara berpikir dengan mencari korelasi (hubungan) antara sesuatu hal dengan hal lain.

1.6 Kerangka Berpikir

Penulisan ini merupakan bagian dari persyaratan memenuhi kelengkapan untuk mengikuti ujian UPKP (Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat) di Lingkungan Kanwil Dep. Agama Sumatera Utara. Sebagai sebuah tulisan yang jauh dari sempurna, penulis hendak menyampaikan gambaran serta analisis penulis mengenai kondisi madrasah yang ada di lingkungan Kantor Departemen Agama Kabupaten Nias, sebagai gambaran bahwa kondisi madrasah-madrasah di Kabupaten Nias pada dasarnya memiliki kesamaan. Kondisi bangunan yang jauh dari kelayakan, apatahlagi gempa setahun yang lalu telah memperparah kondisi bangunan-bangunan madrasah, hal ini ditimpali dengan kualitas guru yang masih jauh dari harapan, mutu lulusan yang juga masih dipertanyakan, ditambah lagi dengan minimnya sarana dan prasarana pendidikan.

Menelisik kondisi tersebut maka menjadi perhatian yang sangat serius bagi Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama untuk melakukan revitalisasi madrasah di Kabupaten Nias. Madrasah merupakan Kawah Candra dimuka bagi tumbuhnya santri-santri yang tidak hanya bermoral mulia, namun memiliki kemampuan umum yang memadai, menguasai tekhnolog serta dapat bersaing dan berkompetisi dengan siswa-siswa umum lainnya. Untuk itu menjadi sebuah keharusan dalam hal ini penyelenggara pendidikan madrasah untuk membangkitkan ghirah madrasah melalui peningkatkan mutu madrasah sehingga menghasilkan madrasah bermutu dikemudian hari.

BAB II
ANALISIS MASALAH

2.1 Profil Kantor Dep. Agama Nias

Departemen Agama Kabupaten Nias merupakan satu dari beberapa Kantor Departemen Agama di Sumatera Utara. Kantor Departemen Agama Kabupaten Nias terletak di Kota Gunungsitoli, tepatnya di Jalan Karet No. 38, Kel. Ilir Kec. Gunungsitoli Kab. Nias. Kantor Departemen Agama kabupaten Nias dibangun pada tanggal 12 (Dua belas) bulan 1 (satu) tahun 1989 (Seribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Sembilan). Dengan batas-batas, sebelah Utara berbatasan dengan Jalan karet, Barat berbatasan dengan Kantor Badan Pengawas, Selatan berbatasan dengan Perumahan Penduduk, dan disebelah Timur berbatasan dengan Perumahan Penduduk. (Data Terlampir. 1)

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Departemen Agama senantiasa berupaya menjaga kepercayaan masyarakat dengan senantiasa mengoptimalkan peran-perannya satrategisnya ditengah-tengah masyrakat. Sebelum kita berbicara tentang tugas pokok dan fungsi kita uraikan visi dan misi Dep. Agama berdasarkan KMA Nomor. 512 tahun 2003, visi dan misi Dep. Agama dirumuskan sebagai berikut :

2.1.1 Visi Dep. Agama adalah :
Menjadikan nilai-nilai Agama sebagai landasan moral spritual dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sejalan dengan itu visi Kantor Dep. Agama Kabupaten Nias dirumuskan sebagai berikut :
– terwujudnya Insan yang mampu menjadi pelopor dan teladan dalam pembinaan moral, etik, dan spritual dalam kehidupan sehari-hari menuju masyarakat sejahtera rukun dan damai.

2.1.2 Misi Dep. Agama adalah :
Disesuaikan dengan misi Dep. Agama yang ada di Sumatera Utara, yaitu :
1. Meningkatkan kualitas pendidikan Agama
2. Meningkatkan kualitas pelayanan ibadah
3. Memberdayakan lembaga keagamaan
4. Memperkokoh kerukunan umat beragama
5. Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan
6. Penghormatan atas keanekaragaman keagamaan

2.1.3 Tugas dan Fungsi

1. Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Dep. Agama Kab. Nias yaitu melaksanakan tugas pokok dan fungsi Dep. Agama dalam wilayah Kabupaten Nias berdasarkan kebijakan Menteri Agama.
2. Fungsi Kantor Dep. Agama Kab. Nias adalah sebagai berikut :
a. Perumusan visi, misi dan kebijakan teknis dibidang pelayanan dan bimbingan kehidupan beragama kepada masyarakat.
b. Pembinaan pelayanan dan bimbingan masyarakat Islam, pelayanan Haji dan Umroh, Pengembangan Zakat dan Wakaf, Pendidikan Agama dan Keagamaan Pondok Pesantren, Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid serta Urusan Agama, Pendidikan Agama dan Bimbingan Agama Kristen, Katholik, Hindu serta Budha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c. Perumusan kebijakan Teknis dibidang pengelolaan administrasi dan informasi.
d. Pembinaan kerukunan umat beragama
e. Pengkoordinasian, perencanaan, pengendalian, dan pengawasan program.
f. Pelaksanaan hubungan dengan pemerintah daerah, instansi terkait, dan lembaga masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas.
3. Pokok-pokok kebijakan strategis
1. Menciptakan iklim kondusif bagi proses pemantapan peran, fungsi dan kedudukan agama sebagai landasan moral spritual dalam pembangunan di daerah.
2. Mengupayakan peningkatan kualitas pelayanan kehidupan sebagai usaha memberikan kemudahan bagi umat beragama melaksanakan ibadah dan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan kehidupan beragama.
3. Mengupayakan peningkatan pelayanan dan mutu pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dengan menitik beratkan kepada peningkatan partisipasi masyarakat.
4. Mengupayakan pemberdayaan lembaga-lembaga sosial, keamanan dan lembaga pendidikan tradisional keagamaan untuk semakin memantapkan keagamaan dalam mengembangkan kesempatan pendidikan yang bermutu serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
5. Mengupayakan peningkatan kualitas pemahaman penghayatan dan pengamalan agama dan kerukunan umat beragama sebagai upaya meningkatkan harmonis sosial dan integrasi bangsa.
6. Penataan dan pembenahan organisasi dilingkungan Dep. Agama Sumatera Utara sebagai respon terhadap adanya perubahan struktural di tingkat pusat.
7. Peningkatan kualitas sumber daya dilingkungan Dep. Agama Sumatera Utara sehingga dapat meningkatkan kualitas kinerja untuk menghasilkan output outcome sesuai dengan yang diharapkan.
8. Efesiensi pemanfaatan sumber daya dilingkungan Dep. Agama Sumatera Utara sebagai respon terhadap berbagai keterbatasan sehingga dapat dilakukan antisipasi kemungkinan terjadinya in efesiensi.
9. Menjalin koordinasi dan kerjasama dengan instansi-instansi baik dilingkungan pemerintah maupun di swasta, serta masyarakat luas sebagai upaya mensukseskan berbagai program strategis pembangunan.
2.1.4 Struktur Organisasi di lingkung Kandepag Kab. Nias berdasarkan KMA Nomor 373 tahun 2002

Dari bagan diatas terlihat bahwa setiap seksi memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, dan dalam hal ini persoalan yang menyangkut kependidikan, maupun Madrasah di naungi oleh Seksi Kependidikan Agama Islam dan Pemberdayaan Masjid (Kependais dan Pemb. Masjid).

Data Kantor dep. Agama menunjukan ada 33 madrasah Ibtidaiah (MI), terdiri dari 5 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dan 28 Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIs). 6 Madrasah Tsanawiyah (MTs), terdiri dari 1 Madrasah Tsanawiyah Negeri, 1 Madrasah persiapan Negeri dan 4 Madrasah Tsnawiyah Swasta, kemudian ada 5 Madrasah Aliyah (MA), terdiri dari 1 Madrasah Aliyah Negeri (MAN), 1 Aliyah persiapan Negeri, dan 3 Madrasah Aliyah Swasta (MAS). (Data Terlampir 2 )

Melihat kondisi yang ada, maraknya Madrasah ditingkat Ibtidaiyah merupakan potensi yang sangat besar untuk mengembangkan Madrasah di pulau balinya Sumatera Utara ini.

2.2 GURU SEBAGAI KOMPONEN INPUT MADRASAH

Berbicara persoalan Madrasah tidak akan mungkin melupakakan guru sebagai komponen yang maha penting, Guru memiliki peran central dalam merevitalisasi Madrasah. Ada sekitar 2,7 juta guru di negeri ini yang setiap harinya melayani murid. Depdiknas menyebutkan, bahwa guru di Indonesia yang berkualifikasi S1 baru mencapai 36,88 % ; D3 6,13 %, D2 29,9%, D1 2,46 %, SMA dan sederajat 24,82%.

Dari sekian guru tersebut yang menghentakan kita adalah, tenyata ditemukan guru yang mismatch di SD 13,2 %, SMP 15,7%, SMA 6,6 % pada hal tingkat keterpenuhan guru juga belum optimal (data keterpenuhan guru SD 90,3, SMP 83,1 %, SMA 63,9%. (Sumber BPS, 2004). Khusus Sumatera Utara, hingga tahun 2007 kekeuranagan guru SD sebesar 503, SMP sebesar 2613 orang (Khusus Mata pelajaran IPA, TIK, dan muatan lokal : sumber Ditjen PMTPTK, 2007), Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di madrasah-madrasah kita.
Meski dalam kondisi demikian, guru kita tetap sungguh-sungguh melaksanakan transfer of knowledge walaupun sebahagian guru belum juga melakukan evaluasi yag akurat apakah kompetensi yang dimiliki siswa memenuhi standar content dan performance. Banyak juga guru kita yang sudah relevan ditinjau dari pendidikan, keahlian berkaraya, sikap serta perilaku, tetapi masih enggan untuk totalitas dengan segenap hati dan pikirannya untuk melakukan pembelajaran yang berkualitas. Dalam kondisi tersebut, Guru, bahkan Orang tua murid tetap berharap siswa mereka menguasai materi-materi pembelajaran yang ada bahkan berharap meraup angka yang signifikan dalam UN (Ujian Nasional).

Ketika berbagai pendekatan pembelajaran yang mutakhir diluncurkan, kurikulum baru diimplementasikan, guru kita berusaha memenuhi tuntutan Kepala Sekolah, Pengawas, Kepala Dinas dan mungkin pejabat Pemda di daerah itu. Dengan kemampuan yang sangat terbatas mereka tertatih-tatih untuk mempelajari quantum learning, cooperative learning, contextual learning, costructivisme, realistic math education, atau sebutlah yang lain. Meski semua pihak berusaha menemukan pola implementasi pendekatan tersebut dalam setting yang jelas yang dapat mengukur pendekatan skema perubahan yang memerlukan proses adaptasi. Persoalannya adalah, adakah indikator yang jelas yang dapat mengukur pendekatan mana yang dapat membangun learning ability murid sehingga murid menjadi sosok pelajar yang tangguh.

Guru kita berusaha keras memhami ruhnya pembelajaran berbasis kompetensi meski terbayang bagi mereka bagaimana sulitnya memilih materi yang relevan untuk mengajar standar kompetensi yang ditetapkan. sesungguhnya implementasi KTSP tidak akan mengalami kesulitan jika jiwa pembelajaran berbasis kompetensi telah dipahami guru. Konsep yang sangat baik dari KTSP tidak akan memberikan hasil yang maksimal sepanjang guru menempatkan sekolah sebagai tempat mengajar bukan tempat belajar. Dengan kata lain berhasil tidaknya reformasi sekolah dalam konteks pengembangan kurikulum berbasis kompetensi sangat bergantung pada untuk kerja gurunya, seperti diungkapkan Nana Syaodih,
… betapapun bagusnya suatu kurikulum (offisial), tetapi hasilnya sangat tergantung pada apa yang dilakukan oleh guru dan juga murid dalam kelas (actual). Dengan demikian guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum.

Seorang guru madrasah dituntut cakap dalam menjalankan peran-perannya dalam setiap proses pembelajaran, tidak sekedar mengajar dengan berbagai aktfitas yang dapat menjenuhkan namun juga dapat menghadirkan sebuah nuansa baru dalam pembelajaran, seorang guru madrasah juga dituntut untuk dapat mengarahkan para siswanya untuk tidak sekedar konowledge assesment an sich, namun juga menyemangati para siswa untuk senantiasa menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya. Dengan kata lain, semua mata pelajaran umum harus diberikan nuansa ke-islaman yang operasionalnya diintegrasikan melalui materi pokok/sub pokok bahasan yang memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai ke-islaman yang relevan.

Sehingga dengan demikian siswa-siswa madrasah diharapkan menjadi manusia yang paripurna, menjadi insan yang syamil dan kamil. Dapat mengaplikasikan keilmuan konvensionalnya dan juga dapat menghayati dan mengamalkan peran-peran spritualnya ditengah-tengah masyarakat.

BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

3.1 Komponenen input madrasah
Menelisik akar persoalan diatas tidaklah mudah untuk merevitaliasi kondisi pendidikan madrasah di Kabupaten Nias. Namun, keseriusan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan bukan hanya slogan belaka, karena besarnya Anggaran pendidikan tanpa diimbangi dengan program pendidikan yang benar malah akan menimbulkan persoalan baru, sebagaimana ungkapan Ketua DPR Agung Laksono, realisasi anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan harus diimbangi dengan perbaikan internal Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). “Tanpa ada kesiapan dari kedua kementerian untuk menyusun program pendidikan yang benar, dikhawatirkan akan menimbulkan kontradiktif dan permasalahan baru,” kata Agung, di sela-sela Rakornis Pendidikan, Kursus Cendekiawan dan Litbang DPD Golkar Jabar, di Bandung. Agung juga mengatakan, penyiapan dan pembenahan internal di kedua departemen itu, antara lain, menyangkut cara dan metode pembelajaran, infrastruktur, program dan standar baku pendidikan nasional.
Untuk itu diperlukan keriusan semua pihak untuk menjalankan pern-peran strategisnya untuk meningkatkan mutu madrasah dan madrasah bermutu. Melihat kondisi dan realitas yang ada setidaknya tiga komponen input yang harus segera dibenahi oleh madrasah di kabupaten Nias
Pertama, pembenahan sarana dan infrastrukutr pendidikan. Hal ini amatlah wajar, ketika kita berbicara persoalan pendidikan dengan mengenyampingkan sarana dan infrstruktur adalah omong kosong. Bagaimana para siswa akan belajar jika lokalnya tidak ada, hancur, mau roboh dan tidak layak digunakan, ataupun bagaimana para siswa akan dapat memahami ilmu yang diberikan oleh guru dalam bidang biologi misalnya ataupun kimia yang membutuhkan praktek, sementara sekolah tidak memiliki laboratorium maupun sarana praktek yang lain, dan inilah kondisi yang terjadi di madrasah-madrasah Nias hari ini. Hancurnya madrasah-madrasah akibat gempa dua tahun lalu telah meluluhlantahkan madrasah-madrasah yang ada. Dengan keterpaksaan mereka harus menempati tenda-tenda darurat, ataupun meminjam gedung sekolah lain. Ataupun menggunkan lokal darurat yang ala kadarnya. Angin segar yang diberikan puluhan NGO (Non Government organization) semisal BRR (Badan Reconstruction and Rehabilitation), ACT, IOM, UN, HELP, OXPAM, dan yang lainnya yang concern dalam upaya pembenahan infra struktur pendidikan cukup mengobati dunia pendidikan di daerah ini. Setidaknya ada secerca harpan bagi para pengusung pendidikan di Kabupaten Nias untuk bangkit kembali mengejar ketertinggalan yaang terjadi selama ini.
Kedua, konsistensi dan keberlanjutan pembinaan guru. Sudah dikatakan diawal bahwa berbicara persoalan madrasah apalagi dengan sekian wacana peningkatan madrasah bermutu tidaklah mungkin mengenyampingkan sosok guru. Maka konsistensi pembinaan guru madrasah merupakan sebuah keharusan sebagai upaya menciptakan guru yang profesional. Profesionalitas seorang guru sangat vital untuk mensukseskan pendidikan yang bermutu.
Jabatan guru bukan sebagai ”okupasi” atau pekerjaan yang sekedar mencari nafkah, dengan berbagai modal pengetahuan dan keterampilan yang pas-pasan. Jabatan guru juga bukan sekedar ”hobi” atau kegemaran. Ia bukan pula sebagai jabatan ”vokasional” atau kejuruan belaka. Guru adalah suatu jabatan profesional.
Mengingat masih sangat rendahnya kualitas guru didaerah ini maka pembinaan tersebut harus dilakukan secara konsisten, data Kantor Dep. Agama menyebutkan baru sekian persen saja guru-guru didaerah ini yang memiliki kualifikasi S1. (Data Terlampir 3). Pembinaan guru madrasah dapat dilakukan dengan MGMP, KKG, KKKS, MKKS, bahkan pada era 70-an kita memiliki pembinaan semisal hands-on experiences seperti PKG/KKG/MGMP yang dibina dengan pola sanggar pemantapan kerja guru (SPKG) tahun 1980-1990.
Dengan pembinaan guru yang konsisten ini diharapkan akan tercapai standarisasi pendidik yang dibutukan bagi guru-guru madrasah sehingga guru yang profesional dapat terwujud. Adapun Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sebagaimana yang dijelaskan dalam PP RI NO. 19 TAHUN 2005 Tentang Guru Dan Dosen, dalam pasal 28 disebutkan.
a. Kompetensi Pedagogik. Kompetensi adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisaskikan berbagai potensi yang dimilinya.
b. Kompetensi Kepribadian, yaitu kemampuan yang mantap, stabil, dewasa, arif dan beribawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
c. Kompetensi Profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya pembimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
d. Kompetensi Sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali, peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Seorang guru juga harus menyadari bahwa, pembelajaran bukan sekedar memorasi dan recall, bukan pula sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekan dalam kehidupan oleh peserta didik (etos). Hal ini tentu menjadi perhatian yang sangat serius bagi para pendidik terutama guru-guru madrasah di lingkungan Kantor Dep. Agama Kabupaten Nias untuk senantiasa menghayati peran strategisnya dalam setiap aksi pembelajaran.
Ketiga, pelaksanaan monitoring dan evaluasi (monev) dalam kerangka pengembangan madrasah sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabiltas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan terhadap peserta didik, lembaga untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan, monev juga dilakukan dalam kerangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Monitoring dan Evaluasi (monev) harus dilakukan secara konsisten untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik, dan perkembangan madrasah secara berkesinambungan. Dengan pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi (monev) yang continiu maka kita berkeyakinan, bahwa setiap aktifitas program madrasah akan berjalan dengan baik, itu artinya peningkatan mutu madrasah dan madrasah bermutu akan semakin mudah diwujudkan.
Di lingkungan Kantor Departemen Agama Kabupaten Nias monitoring dan evaluasi (monev) telah dijalankan setahun belakangan ini, persoalannya adalah untuk melakukan monev di kecamatan-kecamatan sangatlah sulit karena secara geografis wilayah Nias masih cukup terbelakang, sehingga cukup sulit untuk menjangkau kecamatan diluar kota Gunungsitoli. Namun sebagai upaya untuk meningkatkan mutu madrasah tetap harus dilakukan. Beberapa madrasah diantaranya beberapa MIs (Madrsah Ibtidaiyah Swasta) di Sirombu, Lahewa, Gido, Olora telah dilakukan monev. Walaupun belum maksimal namun usaha Kantor Departemen Agama untuk melakukan monev sampai ke kecamatan-keamatan yang sulit terjangkau patut diacungi jempol. Hal tersebut tentu harus lebih ditingkatkan mengingat pelaksanaan monev merupakan bentuk dari upaya mewujudkan akuntabilitas pendidikan madrasah, yang pada akhirnya sebagai upaya mewujudkan mutu madrasah dan madrasah bermutu di lingkungan Kantor Dep. Agama Kab. Nias.

BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Dari uraiaian diatas dapat penulis simpulkan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Revitalisasi Madrasah harus dimulai penyediaan kompoenen kompoenen-kompoenen yang dibutuhkan bagi terselenggaranya madarasah bermutu, seperti, sarana dan infrastruktur pendidikan, pembinaan pendidik madrasah secara konsisten, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan.
2. komptensi guru Madrasah harus benar-benar ditingkatkan mutu madrasah selalu bermuara dari kompetensi seorang guru, beberapa kompetensi yang harus dimiliki adalah, kompentensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, dengan dikuasainya kompetensi tersebut usaha untuk merevitalisasi madrasah akan dapat dilakukan dengan baik serta madrasah yang bermutu yang kita cita-citakan akan dapat diwujudkan.
4.2 Saran
Ada beberapa saran yang dapat penulis tuliskan dalam upaya peningkatan mutu madrasah dan madrasah bermutu di lingkungan Kantor Departemen Agama Kabupaten Nias:
1. Pemerintah dalam hal ini Departemen Agama harus membangun kembali dan merehabilitasi bangunan-bangunan madrasah yang telah hancur di Kabupaten Nias.
2. Melakukan penambahan guru-guru madrasah dalam hal ini guru mata pelajaran umum tingkat MTs dan MA karena hal ini sangat penting untuk meningkatkan mutu madrasah.
3. Melakukan pembinaan guru secara berkesinambungan, dalam hal ini upaya pembinaan guru dapat dilakukan melalui kelompok-kelompok kerja madrasah.
4. melakukan monitoring dan Evaluasi (Monev), dengan melakukan monev secara berkelanjutan, akuntabilitas madrasah akan semakin terjamin, serta upaya melahirkan madrasah bermutu akan dapat terwujud.
DAFTAR BACAAN
Aziziy, Qodry. 2003. Melawan Glabalisasi : Reinterprestasi Ajaran islam, Persiapan SDM dan terciptanya Masyarakat Madani. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI, 2006. Undang – undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam.
Departemen Agama RI, 2006. Pedoman Pelaksanaan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun 2006-2009. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Direktorat Pendidikan Madrasah.
Departemen Agama RI, 2006. Pengembangan Ciri Khas Madrasah . Jakarta : Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Kleagamaan MP3A.
Departemen Agama RI, 2006. Perencanaan dan pengembangan Madrasah. Jakarta : Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Kleagamaan MP3A.
Departemen Agama RI, 2006. Pemetaan Sarana madrasah ibtidaiyah Negeri dan Swasta Se-Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Direktorat Pendidikan Madrasah.
Mulyasa, Enco. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep Karakteristik, dan Implementasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Rohani, Ahmad. dan Ahmadi, Abu. 1991. Administrasi Pendidikan Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara.
Nana Syaodih Sukmadinata.1998. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum, Jakarta : P2LPTK Depdikbud.
Harian Analisa, 4/6/2007

Maret 20, 2008 Posted by | Tidak Dikategorikan | | Tinggalkan komentar