Depagnias Weblog

IKHLAS BERKHIDMAD : UPAYA MEWUJUDKAN MASYARAKAT HUMANIS

MERAJUT AGENDA AKSI MENUJU EKSISTENSI : TURBULENSI HMI DITENGAH PERCATURAN WACANA DAN AKSI KEBANGSAAN

Oleh : Asrul Nasution, S.Pd

Abstract

It can’t be denied that this article is far from the scientific writing and research methodology. this is made because of the responsibillity of the writer for the problem in HMI (Islamic of Muslim Organization). This is made by deskriftive reactive analyses. A reactive that describes how the srtuggle can’t go on. In the other side show us that the existencies of HMI is the responsibility of the members. Therefore, the cadres must be aware that the striving still long and long and theres is a grand desing which must be done in the future.
The grand design is action.

PENDAHULUAN

Melangkah dari sebuah kepingan keberanian dan pengetahuan yang ala kadarnya manusia kerap berspekulasi untuk berbuat an sich apa yang ingin dicapainya, populis dan kerap mercusuar menurut dirinya. Namun, disisi yang lain manusia melupakan sebuah agenda yang maha penting yang merupakan granda designd ¬ aktifis pergerakan. Agenda itu tak lain adalah aksi.

Aktifitas mahasiswa kerap diklaim memiliki misi perjuangan yang amat luhur, bahkan kerap dilabelkan sebagai pelopor idealisme, penegak kebenaran, penyulut demokratisasi bahkan penggerak reformasi dan perubahan. Peran yang signifikan itulah yang menyebabkan mahasiswa senantiasa ditunggu aksi dan perjuangannya.

Masyarakat kerap menanti dan memperhatikan setiap gerak dan aksi-aksi mahasiswa Indonesia yang terpolarisasi dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan para pendahulunya. Sebut saja, Soekarno – Hatta. Kedua icon itulah yang sangat luar biasa membius pemikiran mahasiswa untuk senantiasa kritis terhadap situasi dan kondisi kebangsaan yang ada. Baru setelah itu bermunculan icon-icon yang lailn yang juga mengusung jargon-jargon yang sama.

Bermunculannya jargon pengusung ide-ide kebangsaan merupakan angin segar bagi perjuangan pergerakan kebangsaan bangsa Indonesia. Bahkan entitas pergumulan ide-ide kebangsan semakin menjamur, sebut saja Indische Partij, Budi Utomo, Kihajar Dewantara, dsb. Bahkan pergumulan kekuatan Islam juga tak ketinggalan untuk menancapkan hegemoninya ditengah-tengah sejarah emas perjuangan kebangsaan bangsa Indonesia. Diantaranya adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Sarikat Islam bahkan pergumulan pemikiran kontemporer yang cenderung progresif dan inclusive semisal Persis juga turut andil dalam wilayah diametral perjuangan kebangsaan.

Corak pemikiran anak-anak persis rupanya cukup diminati oleh sebagaian mahasiswa Indonesia, bahkan berlahan namun pasti corak pemikiran (baca-kontemporer) selah-olah menjadi trade-mark aktifis pergerakan.

Salah satu organisasi Mahasiswa yang cukup menggandrungi corak pemikiran tersebut tidak lain adalah anak-anak Himpuan Mahasiswa Islam (HMI). Bermula dari sebuah pergumulan anak-anak muda Islam, seolah menemukan jati dirinya, pergumulan itu mengubah dirinya menjadi organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari seorang Lafran Fane HMI didirikan pada tanggal 5 juli 1947, ditengah-tengah polemik memperjuangakan eksistensi kemerdekaan, ditengah aneksasi komunisme, pengegerogotan idealisme bahkan aneksasi imperealisme, HMI muncul menawarkan solusi kebangsaan dan keber-agamaan.

Bahkan dalam konstitusi HMI sangat jelas digambarkan tujuan HMI, yaitu sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai oleh Allah Swt . landasanya sangat jelas karena dibingkai oleh azas ke-Islaman, itu artinya bahwa Islam menjadi acuan dalam setiap pergerakan dan aksi para kader-kadernya.
Entittas ke-Islaman HMI bukanlah Islam yang menghardik atau bahkan menyalahkan pemahaman ke-Islaman umat yang lain, ataupun tidak untuk menggurui tentang islam, atau mengajarkan masyarakat tentang segala macam tetek benget persoalan fikih klasik, namun kehadiran pemikiran ke-Islaman HMI adalah untuk memberikan dorongan dan spirit keber-Islaman, dalam artian bahwa Islam adalah motivasi kehidupan, dari sana manusia berasal dan kembali. Islam dijadikan sebagai kekuatan spiritual (spiritual power) dan spirit organisasi. Pencerahan pemahaman ke-Islaman yang tidak rigid, kaku bahkan jumud merupakan pemahaman keber-Islaman yang hendak disampaikan HMI.

Hal ini jelas telah digambarkan oleh NDP (Nilai dasar perjuangan ) HMI yang dahulu disebut sebagai NIK (Nilai Identitas Kader). Bahwa dalam setiap aksi dan perjuangannya Himpunan Mahasiswa Islam senantiasa mengedepankan Islam sebagai dasar perjuangan. Dasar berpijak inilah yang menjadikan kader-kader HMI menjadi manusia yang utuh, tidak menjadi pribadi yang rapuh (split of personality). HMI memandang bahwa keber-Islaman seseorang tidak diukur dari simbolitas keberagamaannya, namun dari essensialitas aktifitas seseorang. Tidak dari teoiritisasi dan seabrak fatwa dan petuah ke-ber-Islaman namun seberapa jauh nilai-nilai ke-Islaman seseorang dapat mempengaruhi gerak kehidupannya kemudian seberapa kuat nilai ke-Islaman dapat menghancurkan realitas kemungkaran dan kezhaliman yang ada. Seolah-olah pemahaman keber-Islaman HMI hendak menyampaikan bahwa Islam adalah Agama yang toleran, damai dan senantiasa menghargai perbedaan.

Citra inklusifitas inilah yang menyebabkan organisasi Mahasiswa ini (baca:HMI) cukup diminati oleh anak-anak Muda Kampus ketika itu. Berbondong-bondong Mahasiswa Islam masuk menjadi anggota Muda HMI bahkan dengan semangat yang berapi-api mereka mengikuti jenjang training HMI yang cukup popular hingga kini, training itu tidak lain adalah Basic Training (LK1), melalui Basic Training (LK1) inilah bermunculan potensi-potensi besar yang kedepan menjadi orang besar dan menghentak blantika pemikiran ke-Islaman dan kebangsaan di tanah air ini.

Banyak orang ketika itu mengatakan bahwa Basic Training (LK1) merupakan kawah candradimuka anak-anak Himpunan (Baca:HMI). Training yang menjadi prasyarat seorang anggota Muda HMI untuk menjadi anggota biasa HMI telah begitu banyak memberikan konstribusi pemikiran kepada para kadernya. Dimulai dari bagaimana cara seseorang harus berpikir dan mengeluarkan pendapat secara sistematis, memahami konsep Islam secara universal dengan tidak menyalahakan konsepsi Islam yang lain, mencoba untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dari alur reformasi, bahkan Training ini membuka pemikiran dan menyadarkan kader yang berasal dari berbagai latar belakang Mahasiswa ini untuk menyikapi realitas kemungkaran yang ada untuk senantiasa menjadikan masyarakat sebagai focus dan misi perjuangan HMI.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sadar betul bahwa the ultimate goal dari perkaderan ini adalah masyarakat. Dan itulah sebenarnya yang hendak disampaikan di setiap training-training HMI. HMI harus mampu menjadi mobilisator setiap perjuangan masyarakat untuk senantiasa menegakan keadilan dan memberantas setiap otoritarianisme di tengah-tengah masyarakat. Bersatunya masyarakat dan Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI) terlihat jelas ketika hendak menghancurkan rezim orde baru (masa Soeharto) ditahun 1998. Idealisme perjuangan yang ditunjukan anak-anak HMI menjadikan masyarakat interest untuk kemudian melahirkan Polarisasi masyarakat yang pada akhirnya merapatkan barisan dengan HMI untuk berjuang bersama-sama mengancurkan rezim otoriter itu.

Banyak sudah yang ditorehkan HMI kepada para kadernya bahkan Viktor Immanuael Tanja pernah melabelkan organisasi ini sebagai organisasi pembaharu bahkan merupakan organiasi yang menjadi harapan ummat dan bangsa ini. Perlahan citra yang pernah dilabelkan Victor immanuael Tanja mulai memudar. Organiasi yang konon sempat menjadi anak kandung ummat ini seolah-olah telah menjauh dari induknya. Ummat yang seharusnya menjadi focus perjuangan telah beralih menjadi alat perjuangan sebahagaian kader HMI untuk mengeruk keuntungan politik dan financial. Atas nama rakyat dan ummat sebahagian mereka mencari bargaining position dihadapan para penguasa dan pembesar dinegeri ini. Dan itulah yang terjadi ditubuh HMI saat ini.

Nilai-nilai ke-Islaman yang seharusnya menjadi landasan berpijak tidak lagi kentara, yang ada hanyalah political interest, bargaining position bahkan segala cara dapat dilakukan untuk mewujudkan keuntugan pribadi dan keuntungan politik. Untuk diketahui bahwa setidaknya ada dua entitas yang saling bersikukuh dan bertarung ditubuh internal HMI hingga kini, dua kubu itu adalah Struktural interest dan Cutural Interest. Structural interest adalah kubuh yang berpikiran kekuasaan bahkan dengan segala cara mereka lakukan untuk meraih kekuasaan. Sedangkan Cultural Interest adalah kubu yang senantiasa membangun dunia intelektualitas, mengedepankan ilmu dan wacana-wacana ilmiah di setiap aksi-aksinya. Yang terjadi adalah lambat laut Cultural Interest semakin menarik diri dari lingkungan kekuasaan (strultural) untuk kemudian mencari entitas sendiri. Seperti lebih memilih mengurus Lembaga pengelola dan Latihan (LPL) HMI, menjadi Seniour Course (SC), bahkan banyak diantara mereka yang menarik diri secara total dari kepengurusan HMI.

Hal inilah yang terjadi dibeberapa Cabang HMI diIndonesia, seperti cabang HMI Ciputat, Jakarta, Semarang ataupun Yogyakarta dan beberapa Cabang yang lainnya diIndonesa. Bermunculannya organisasi-organisasi semisal Forum Mahasiswa CIPUTAT (FORMACI), FORKOT,FEMRED, LKIS, bahkan JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah buah dari kejenuhan mereka terhadap nuansa kekuasaan yang terjadi ditingkat Cabang bahkan PB HMI. Diakui atau tidak sebagian besar dari mereka yang menyebrang menuju organiasi tersebut adalah anak-anak muda HMI yang bosan dan jenuh dengan yang terjadi ditubuh organisasi ini (baca:HMI).

Sehingga dapat ditebak ketika organisasi ini ditinggalkan oleh orang-orang yang berpikiran cultural, maka yang tersisa adalah orang-orang dungu, yang hanya mencari kekuasaan. Orang-orang dungu inilah yang kemudian memimpin HMI satu dasawarsa terakhir ini. Akibatnya organisasi ini menjadi mandul baik pemikiran, intelektualitas bahkan menjadi organiasi yang tidak beradab. Tidak mengherankan beberapa tahun yang lalu ketika HMI mengadakan Kongres di Semarang Alm Nur Kholis Madjid mantan ketua PB HMI dua priode mengatakan bubarkan saja HMI. Kontan hal tersebut membuat anak-anak HMI bak kebakaran jenggot. Namun, Perkataan Cak Nur bukanlah tanpa alasan hilangnya vitalitas intelektual, semakin bobroknya moral anak-anak HMI menjadikan organiasi ini tidak lagi memiliki daya dan identitas lagi. Bahkan IMAM Y THOHARI mantan ketua PP Muhammadiyah suatu waktu pernah mengatakan “bahwa dalam satu dasawarsa terakhir ini Himpunan mahasiswa Islam telah kehilangan sibghah ke-Islamannya baik dari segi pengamalan dan aktifitas ke-islaman dari segi pengamalan keIslaman anak-anak HMI jauh dibandingkan organisasi semisal KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam)” bahkan meminjam istilah kakanda Nur Kholis Madjis HMI kini tidak lagi memiliki Striking Moral Force (Daya Dobrak).

Kenyataan itu menjadikan kader-kader HMI terombang-ambing ditengah lautan pemikiran dan pergerakan. Ditengah maraknya organiasi-organiasi lain yang bermunculan ternyata HMI tidak cukup kukuh untuk eksis ditengah-tengah para kompetitornya.Tidak untuk membandingkan dua organisasi Islam lain. Dalam tataran aksi dan pemikiran kader-kader HMI kelihatannya mulai jauh ditinggalkan oleh KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam) ataupun JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Diakui atau tidak dua oransiasi ini cukup diminati oleh sebagian Mahasiswa Islam akihr-akhir ini meminjam stereotipe Kakanda Azhari Akmal Tarigan (Staf Pengajar IAIN Sumut) kalau ingin menjadi mahasiswa Islam yang kaffah maka masuklah KAMMI namun kalau ingin pandai berapologi maka masuklah HMI. Stereotipe ini bisa diterima bisa juga tidak, namun kenyataannya dapat kita terima. Lihat saja banyaknya Mahasiswa Islam yang masuk dan menjadi anggota HMI kelihatan tidak jelas kepribadian dan pemikiran ke-islamannya, bahkan banyak diantara mereka yang tidak jelas moral dan akhlaknya.

Hilangnya Vitalitas HMI tidak hanya terlihat dari pemikiran ke-Islamannya namun juga intelektualitas, dan nuansa berpikir kritisnya. Diskusi-diskusi ilmiah, maupun klub-klub kajian yang menjadi program kerja HMI ditingkat Komisariat tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal budaya diskusi dan kajian-kajian ilmiah tersebut merupakan program kerja yang sangat penting ditingkat akar rumput. Hilangnya budaya diskusi, debat dan kajian-kajian ilmiah baik kajian ke-Islaman maupun kebangsaan jelas akan meyumbat nuansa intelektual ditengah-tengah kader HMI. Hal tersebut semakin diperparah dengan semakin kaburnya wajah ke-Islaman anak-anak Himpunan. Islam yang seharusnya minjadi motor dan motivasi pergerakan ternyata tidak lagi kentara, tidak untuk menjustifikasi persoalan, kelihatannya kader-kader HMI sangat menyepelekan aspek yang maha penting ini.

Sudah dapat ditebak ketika aspek ke-Islaman tidak lagi dijadikan sebagai motivasi dalam beraktualisasi maka yang terjadi adalah Split of personality, setiap aktifitas yang dlakukan tidak akan mempertimbangkan aspek kebenaran, nilai dan ketatasusilaan. Dan ini yang terjadi belakangan ini. Penghalalan politik ditingkat akar rumput mulai sering terjadi, kader-kader HMI ditingkat Komisariat yang seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis malah sering terjebak oleh aktifitas alumninya untuk berbondong-bondong andil dalam setiap perhalatan politik. Begitu juga dengan Cabang HMI. Sejatinya, Cabang HMI menjadi tempat aktifitas perkaderan dan bertanya kader-kader Komisariat, malah kini telah berobah fungsi menjadi kerumunan manusia yang tidak memiliki vitalitas lagi. Tarik menariknya kepentingan ditingkat Badko bahkan PB HMI semakin memperparah organisasi Mahasiswa ini.

Banyaknya manusia-manusia yang tidak lagi menyandang sebagai status Mahasiswa, bahkan Mahasiswa-mahasiswa yang tidak jelas bertebaran ditingkat Badko bahkan PB HMI. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi internal HMI yang selalu tarik menarik kekuasaan, tidak heran dalam satu periodesasi terjadi beberapa kali pergantian kepengurusan. Hal itu sangat wajar karena mereka bukan lagi mahasiswa ideal tapi mahasiswa gentayangan yang tidak jelas statusnya dan mendompleng HMi hanya untuk meraih keuntungan dan kekuasaan. Banyaknya polemik HMI ditingkat Komisariat, Cabang, Badko bahkan PB HMI seharusnya menjadikan kader-kader HMI sadar betap kondisi ini sudah diujung tanduk. Mengatakan HMI telah mati dan tidak lagi berdaya juga tidak arif dikarenakan masih banyaknya kader yang masih ideal dan terus memperjuangkan idealisme dan mission HMI.

Sejatinya, kader-kader HMI kembali melakukan Reorientasi pergerakan, melakukan muhasabah dan interopeksi menyeluruh terhadap setiap aktiftas dan perjuangan yang telah dilakukan selaman ini. Malu dan pongah untuk mengatakan kemunduran dan kemandulan pergerakan HMI selama ini hanya akan memperparah kondisi yang ada, untuk tidak dikatakan tercabik-cabik menjadi organisasi tanpa daya untuk kemudian menjadi organisasi yang hilang dari peta pergerakan Mahasiswa.

AGENDA AKSI MENUJU EKSISTENSI

Turbulensi yang terjadi ditengah-tengah Himpunan Mahasiswa Islam merupakan persoalan yang cukup serius yang jika tidak segera dibenahi akan semakin memporak-porandakan organisasi yang sempat besar dan jaya ini. Sudah saatnya kader-kader HMI bangun dari tidur yang teramat panjang, kembali tergugah dan melakukan otokritik internal dan eksternal organisasi meminjam analogi Kakanda Kusmin, M.Pd ( Penulis dan Mantan Pengurus HMI Cab. Medan) biarkan HMI bubar tapi jangan ditangan anda, begitupun ketika anda selesai dikepengurusan HMI katakan kepada kepengurusan yang baru biarkan HMI bubar tapi jangan ditangan anda dan begitu seterusnya. Ini artinya apapun yang terjadi dengan HMI hari ini jangan sampai bubar ditangan anda.

Analogi tersebut cukup baik untuk dipikirkan oleh kader-kader HMI yang masih menjadi pengurus terutama ditingkat Komisariat, titik penekanan persoalan HMI ada pada Komisariat, karena Komisariat merupakan Basic demand HMI yang akan menyuplai kader-kader tangguh harapan ummat Islam dan bangsa ini. Baik buruknya HMI ditingkat Cabang dan PB marupakan cerminan HMI ditingkat Komisariat. Untuk itu kader-kader HMI harus segera melakukan otokritik guna membangun kembali imunitas kekuatan HMI, trauma akan kejayaan dan kebesaran masa lalu hanya akan menambah kehancuran organiasi ini.

Untuk itu sudah saatnya Himpunan Mahasiswa Islam back to basic, melakukan otokritik dengan kembali menyusun langkah-langkah strategis guna mengusung aksi-aksinya kedepan.
Ada 2 (dua) agenda aksi yang semestinya harus dilakukan kader-kader HMI untuk mengembalikan eksistensi HMI kembali:

Pertama, Reaktualisasi Spirit ke-Islaman. Spirit ke-islaman merupakan bagian yang pertama agenda aksi yang harus dilakukan kader HMI meminjam istilah Imam Al-Qardhawi sebagai Militansi keber-Islaman, ini memberikan gambaran bahwa apapun aktifitas yang dilakuakan tanpa berpijak dari aturan Islam maka aktifitas yang dilakukan akan jauh dari koridor kebenaran.

Militansi keber-Islaman adalah hal yang sangat essensi bagi ruh aktifitas pergerakan, tanpa itu maka pergerakan HMI tidak akan memiliki ruh dan wibawa. Militansi keber-Islaman akan menyulut setiap kader untuk terus maju mempertahankan dan memperjuangkan idealisme. Semangat idealisme yang disulut oleh semangat keber-islaman akan melahirkan kekuatan ruhani yang luar biasa yang pada gilirannya melahirkan kekuatan aksi yang sangat dasyat.

Perjuangan HMI ditengah imperialisme barat diawal-awal kemerdekaan, ketika menentang komunisme dan dekrit presiden 5 juli 1955 ataupun ketika ummat Islam terjebak pada sinkritisme maupun pemahaman Islam yang zumud, bahkan ketika Negara ini diperintah oleh rezim orde baru yang otoriter ditahun 1998 HMI tampil terdepan dengan semangat yang berapi-api. Hal ini terjadi karena kader-kader HMI disulut oleh militansi keber-Islaman, sehingga betapapun besar perjuangan yang dilakukan tidak mengendorkan semangat dan perjuangan kader-kader HMI.

Namun seiring dengan perubahan dan arus deras reformasi yang tak kunjung usai militansi itu seolah-oleh hilang ditelan waktu. Lenyap tak berbekas. Bahkan kini kader-kaer HMI mengalami kekeringan spiritual yang luar biasa. Kehampaan spiritual ini menyebabkan seluruh aktifitas yang dilakukan tidak memilliki dampak yang krusial bagi para kadernya. Kegiatan yang dilakukan hanya sebatas ceremoniall ritual belaka, bahkan aksi-aksi yang dilakukan kadang membuat kita malu. Lihat saja aksi-aksi yang dilakukan beberapa kader HMI dilapangan seperti ayam yang kehilangan induknya, morat-marit, tidak jelas masanya, bahkan tidak jelas apa yang diperjuangkan, malah banyak yang diperjuangkan adalah permasalahan politk bukan persoalan kebangsaan dan keummatan yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Hal itu tentu sangat berbanding terbalik dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh aktifis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim). Limpah riuhnya massa organisasi yang sempat dicap ekslusif ini dimana-mana. Bahkan dengan satu komando mereka dapat mengumpulkan massa yang cukup besar disetiap aksi-aksinya, yang mereka perjuangankan pun sangat jelas dan sangat terasa dengan denyut nadi kehidupan ummat. Tidak heran jika aksi-aksi mereka senantiasa ditakuti oleh para koruptor bahkan para elit nakal dinegeri ini. Mereka seolah-olah sadar betul bahwa militansi keber-Islaman adalah modal yang sangat besar untuk beraktifitas.

Untuk itu para kader Himpunan Mahasiswa Islam harus kembali menumbuhkan militansi keber-Islaman itu. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan untuk kembali membangun ghirah keber-Islaman HMI.
Pertama, kembali kepada mesjid, artinya Himpunan Mahasiswa Islam harus kembali meletakan bazis perjuangan HMI ke mesjid-mesjid kampus. Dengan menjadikan mesjid kampus sebagai base camp perekrutan dan penyampaian misi organisasi. Hal ini adalah wajar karena mesjid merupakan tempatnya orang-orang yang senantiasa beramal dan berbuat baik. Rekrutmen kader yang dilakukan dimesjid-mesjid merupakan upaya yang sangat baik untuk melahirkan kaer-kader HMI yang berjiwa militan.

Kesalahan pola rekrutmen kader yang dilakukan selama ini harus diubah. Rekrutmen yang dilakukan di kantin-kantin kampus, kafe-kafe, tempat-tempat nongkrong mahasiswa tidak cukup efektif untuk melahirkan kader-kader yang berjiwa militan walaupun tetap harus dilakukan.

Aktifitas-aktifitas ke-Islaman pun seharusnya juga digiring dilakukan dimesjid-mesjid kampus. Yang terjadi hari ini adalah setiap aktifitas HMI senantiasa dilakukan dihotel-hotel mewah, diaula-aula mewah bahkan auditorium-auditorium kampus yang efeknya adalah kader-kaer HMI ataupun Objek rekrutmen HMI tidak akan merasakan ukhuwah Islamiyah bahkan tidak akan merasakan nuansa keber-Islaman yang seharusnya menjadi focus aktifitas HMI.

Oleh karena itu sudah saatnya para kader Himpuanan Mahasiswa Islam kembali mendekatkan diri kemesjid-mesjid kampus, membangun strategi dan taktik (stratak) jitu untuk kembali menggairahkan aksi dan perjuangan HMI.

Kedua, Melakukan Monitorting kader. Sudah saatnya HMI menciptaan kembali budaya diskusi (klub kajian) ataupun yang sejenis itu seperti pada masanya Ahmad Wahib, dkk dengan klub kajian yang cukup populer ketika itu (Limited Group). Dengan adanya klub –klub kajian itu maka para calon kader ataupun kader yang akan dibentuk akan merasa termonitor sehingga pada gilirannya akan mudah untuk mengarahkan dan menanamkan doktrinisasi kepada para calon kader dan kader tersebut. Dengan melaukukan monitoring kader maka pengurus teras akan tahu apa sebenarnya keiginan dan kebutuhan para kadernya. Sehingga dapat dijadikan jalan keluarnya. Monitoring kader dilakukan bukan untuk mengintai para kader HMI ataupun mematai setiap aktifitas mereka, namun memberikan perhatian dan mencoba memahami keluh dan kesah mereka sehingga semakin meningkatkan hubungan simbosis mutualisme diantara para kadernya.

Kedua, melakukan revitalisasi nilai-nilai inteletual, tanpa disadari aroma kritis, progresif dan debat kader-kader HMI sudah tidak menganga lagi. Ibarat singa sudah tidak bernyali lagi. Singa itu kini sudah tua bahkan wacana-wacana ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang menjadi garapan utama kader-kader HMI sudah tidak kentara lagi. Semakin merosotnya aktifitas intelektual kader HMI tercermin disetiap aktifitas komisariat.

Budaya diskusi, debat, forum-forum ilmiah, seminar bebas bahkan klub-klub kajian intensif sudah jarang terdengar lagi. Tidak untuk membandingkan, namun sebagai bahan insteropeksi saja, maraknya kajian-kajian ke-Islaman yang dilakukan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) semisal mentoring, kajian islam, muhasabah ataupun dengan liqa’annya yang intensive menghantarkan organiasi ini meninggalkan HMI cukup jauh. Bahkan tidak hanya organisasi semisal LDK ataupun KAMMI yang mengalami perkembangan intelektual yang cukup pesat, namun juga organisasi Mahasiswa yang lain semisal PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) ataupun JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).

Bergairahnya pemikiran intelektual baik ke-Islaman ataupun ke-Indonesiaan ditengah anak-anak muda NU akhir-akhir ini, terlepas dari pemikiran mereka yang masih debatable (masih diperdebatkan) bahkan cenderung liberal cukup menghentak kita semua. Betapa tidak konon organisasi PMII dengan NU-nya diklaim sangat tradisional dan menjaga hal-hal baru kini terlihat begitu terbuka dan toleran dengan sekian banyak pemikiran yang ada. Ada beberapa tokoh muda NU yang cukup disoroti akhir-akhir ini sebut saja, Zuhairi Misrawi, Nong Darul Mahmada, Khalik Ridwan, Zuly Qodir, Hamid Basyaib, Luthfi Asy-syaukani ataupun Ulil Abshar Abdalla yang disebut sebut sebagai dedengkotnya JIl (jaringan Islam Liberal). Nama-nama tersebut hanya sederetan kader-kader muda NU yang mewarnai blantika intelektualitas.

Mereka ternyata tidak hanya sekedar membebek dengan pemikiran yang ada, namun mampu menawarkan dan mengusung kerangka ideologi berpikir baru, yang lepas dari tekanan dan intervensi pihak lain. Sebut saja, Nur Khalik Ridwan yang menulis buku tentang kritiknya terhadap Nalar Inklusifisme Cak Nur, yang menurutnya inklusifisme pemikiran Cak Nur ternyata menguntungkan kaum borjuis (kaum kaya), sementara kaum proletar atapun masyarakat miskin tetap dalam posisi yang tidak diuntungkan. begitu juga dengan anak-anak muda Muhammdiyah berkembangya pemikiran intelektual mereka tidak hanya sebatas pada konsep-kosep furuiyah semata tetapi mereka berani memasuki wilayah- pemikiran yang dianggap tabu dan pantang itu diaktualisasikan.

Pertanyaannya kemudian adalah dimana para intelektual HMI, sudah bukan saatnya kader –kader HMI membangga-banggakan generasi tua semacam Nur Kholis Madjid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Azzyumardi Azra, ataupun Anas Urbaningrum. Kita sempat bangga ketika Anas Urbaningrum menerbitkan sebuah buku mengenai Ranjau-ranjau Reformasi dan itu sebuah harapan akan bangkitnya intelektualitas ditengah-tengah kader HMI. Namun, persoalannya Anas tidak sebanding dengan anak-anak muda NU ataupun ataupun anak-anak JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang rata-rata kelahiran tahun 70 -an sedangkan Anas kelahiran tahun 60-an.

Untuk itu sudah saatnya kader HMI kembali melakukan Revitalisasi nilai-nilai intelektual, kemballi mengasah intelektualitas dengan berbagai model kajian dan pengembangan pemikiran. Sudah saatnya budaya diskusi kembali digairahkan kembali, group-group terbatas perlu dikembangkan kembali seperti pada dekade 70 an ketika Ahmad Wahib dan kawan-kawan mendirikan Limited Group. Melalui klub-klub kajian yang kontiniu ini semangat intelektualitas kader-kader HMI akan bangit kepermukaan.

PENUTUP

Sebagai sebuah organisasi yang lahir dari rahim sejarah bangsa Indonesia, 60 tahun sudah HMI menorehkan kesejaharaannya di tanah Air ini, kini HMI dihadapkan pada sekian banyak persoalan ke-ummatan dan kebangsaan yang tak kunjung usai. Idealnya organisasi ini dapat tumbuh dan terus maju dikarenakan telah cukup matang dan dewasa ketika berhadapan dengan sekian pesoalan tersebut.

Namun, apa lacur kedewasaaan ternyata bukan jaminan organisasi ini dapat terus eksis ditengah denyut nadi ummat yang kian bergemuruh. Berbagai polemik dan persoalan baik internal maupun eksternal terus menggelayut ditubuh organisasi ini. Persoalan-persoalan itu tidak hanya bias dari kebobrokan sebahagian kadernya, namun juga sistem dan pola perkaderan yang ada. Diakui atau tidak 60 tahun sudah HMI menancapakan hegemoninya ditengah-tengah turbulensi kebangsaan dan selama itu juga pola perkaderan tidak pernah berubah. Sehingga yang terjadi adalah kejenuhan dan kebosanan kader-kader HMI dalam beraktualisasi .

Sejatinya, hal itu tidak terjadi ketika para pengurus HMI benar-benar memahami konstitusi HMI dengan baik, pemahaman yang rigid terhadap konstitusi HMI hanya akan menjadikan kader HMI malas untuk melakukan berbagai perubahan signifikan menyangkut sistim dan pola perkaderan. Sehingga sudah saatnya HMI kembali merajut sistem perkaderan yang baik, membangun pola rekrutmen serta melakukan manajemen aksi guna mempertaruhkan eksistensi organisasi ini ditengah percaturan kehidupan kebangsaan.

Penulis adalah Mantan Pengurus HMI Cab. Medan dan Kordinator Pendidikan dan Sosial LSM KAN (Karisma Anak negeri) Kota Medan

MERAJUT AGENDA AKSI MENUJU EKSISTENSI : TURBULENSI HMI DITENGAH PERCATURAN WACANA DAN AKSI KEBANGSAAN

Oleh : Asrul Nasution, S.Pd

Abstract

It can’t be denied that this article is far from the scientific writing and research methodology. this is made because of the responsibillity of the writer for the problem in HMI (Islamic of Muslim Organization). This is made by deskriftive reactive analyses. A reactive that describes how the srtuggle can’t go on. In the other side show us that the existencies of HMI is the responsibility of the members. Therefore, the cadres must be aware that the striving still long and long and theres is a grand desing which must be done in the future.
The grand design is action.

PENDAHULUAN

Melangkah dari sebuah kepingan keberanian dan pengetahuan yang ala kadarnya manusia kerap berspekulasi untuk berbuat an sich apa yang ingin dicapainya, populis dan kerap mercusuar menurut dirinya. Namun, disisi yang lain manusia melupakan sebuah agenda yang maha penting yang merupakan granda designd ¬ aktifis pergerakan. Agenda itu tak lain adalah aksi.

Aktifitas mahasiswa kerap diklaim memiliki misi perjuangan yang amat luhur, bahkan kerap dilabelkan sebagai pelopor idealisme, penegak kebenaran, penyulut demokratisasi bahkan penggerak reformasi dan perubahan. Peran yang signifikan itulah yang menyebabkan mahasiswa senantiasa ditunggu aksi dan perjuangannya.

Masyarakat kerap menanti dan memperhatikan setiap gerak dan aksi-aksi mahasiswa Indonesia yang terpolarisasi dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan para pendahulunya. Sebut saja, Soekarno – Hatta. Kedua icon itulah yang sangat luar biasa membius pemikiran mahasiswa untuk senantiasa kritis terhadap situasi dan kondisi kebangsaan yang ada. Baru setelah itu bermunculan icon-icon yang lailn yang juga mengusung jargon-jargon yang sama.

Bermunculannya jargon pengusung ide-ide kebangsaan merupakan angin segar bagi perjuangan pergerakan kebangsaan bangsa Indonesia. Bahkan entitas pergumulan ide-ide kebangsan semakin menjamur, sebut saja Indische Partij, Budi Utomo, Kihajar Dewantara, dsb. Bahkan pergumulan kekuatan Islam juga tak ketinggalan untuk menancapkan hegemoninya ditengah-tengah sejarah emas perjuangan kebangsaan bangsa Indonesia. Diantaranya adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Sarikat Islam bahkan pergumulan pemikiran kontemporer yang cenderung progresif dan inclusive semisal Persis juga turut andil dalam wilayah diametral perjuangan kebangsaan.

Corak pemikiran anak-anak persis rupanya cukup diminati oleh sebagaian mahasiswa Indonesia, bahkan berlahan namun pasti corak pemikiran (baca-kontemporer) selah-olah menjadi trade-mark aktifis pergerakan.

Salah satu organisasi Mahasiswa yang cukup menggandrungi corak pemikiran tersebut tidak lain adalah anak-anak Himpuan Mahasiswa Islam (HMI). Bermula dari sebuah pergumulan anak-anak muda Islam, seolah menemukan jati dirinya, pergumulan itu mengubah dirinya menjadi organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari seorang Lafran Fane HMI didirikan pada tanggal 5 juli 1947, ditengah-tengah polemik memperjuangakan eksistensi kemerdekaan, ditengah aneksasi komunisme, pengegerogotan idealisme bahkan aneksasi imperealisme, HMI muncul menawarkan solusi kebangsaan dan keber-agamaan.

Bahkan dalam konstitusi HMI sangat jelas digambarkan tujuan HMI, yaitu sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai oleh Allah Swt . landasanya sangat jelas karena dibingkai oleh azas ke-Islaman, itu artinya bahwa Islam menjadi acuan dalam setiap pergerakan dan aksi para kader-kadernya.
Entittas ke-Islaman HMI bukanlah Islam yang menghardik atau bahkan menyalahkan pemahaman ke-Islaman umat yang lain, ataupun tidak untuk menggurui tentang islam, atau mengajarkan masyarakat tentang segala macam tetek benget persoalan fikih klasik, namun kehadiran pemikiran ke-Islaman HMI adalah untuk memberikan dorongan dan spirit keber-Islaman, dalam artian bahwa Islam adalah motivasi kehidupan, dari sana manusia berasal dan kembali. Islam dijadikan sebagai kekuatan spiritual (spiritual power) dan spirit organisasi. Pencerahan pemahaman ke-Islaman yang tidak rigid, kaku bahkan jumud merupakan pemahaman keber-Islaman yang hendak disampaikan HMI.

Hal ini jelas telah digambarkan oleh NDP (Nilai dasar perjuangan ) HMI yang dahulu disebut sebagai NIK (Nilai Identitas Kader). Bahwa dalam setiap aksi dan perjuangannya Himpunan Mahasiswa Islam senantiasa mengedepankan Islam sebagai dasar perjuangan. Dasar berpijak inilah yang menjadikan kader-kader HMI menjadi manusia yang utuh, tidak menjadi pribadi yang rapuh (split of personality). HMI memandang bahwa keber-Islaman seseorang tidak diukur dari simbolitas keberagamaannya, namun dari essensialitas aktifitas seseorang. Tidak dari teoiritisasi dan seabrak fatwa dan petuah ke-ber-Islaman namun seberapa jauh nilai-nilai ke-Islaman seseorang dapat mempengaruhi gerak kehidupannya kemudian seberapa kuat nilai ke-Islaman dapat menghancurkan realitas kemungkaran dan kezhaliman yang ada. Seolah-olah pemahaman keber-Islaman HMI hendak menyampaikan bahwa Islam adalah Agama yang toleran, damai dan senantiasa menghargai perbedaan.

Citra inklusifitas inilah yang menyebabkan organisasi Mahasiswa ini (baca:HMI) cukup diminati oleh anak-anak Muda Kampus ketika itu. Berbondong-bondong Mahasiswa Islam masuk menjadi anggota Muda HMI bahkan dengan semangat yang berapi-api mereka mengikuti jenjang training HMI yang cukup popular hingga kini, training itu tidak lain adalah Basic Training (LK1), melalui Basic Training (LK1) inilah bermunculan potensi-potensi besar yang kedepan menjadi orang besar dan menghentak blantika pemikiran ke-Islaman dan kebangsaan di tanah air ini.

Banyak orang ketika itu mengatakan bahwa Basic Training (LK1) merupakan kawah candradimuka anak-anak Himpunan (Baca:HMI). Training yang menjadi prasyarat seorang anggota Muda HMI untuk menjadi anggota biasa HMI telah begitu banyak memberikan konstribusi pemikiran kepada para kadernya. Dimulai dari bagaimana cara seseorang harus berpikir dan mengeluarkan pendapat secara sistematis, memahami konsep Islam secara universal dengan tidak menyalahakan konsepsi Islam yang lain, mencoba untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dari alur reformasi, bahkan Training ini membuka pemikiran dan menyadarkan kader yang berasal dari berbagai latar belakang Mahasiswa ini untuk menyikapi realitas kemungkaran yang ada untuk senantiasa menjadikan masyarakat sebagai focus dan misi perjuangan HMI.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sadar betul bahwa the ultimate goal dari perkaderan ini adalah masyarakat. Dan itulah sebenarnya yang hendak disampaikan di setiap training-training HMI. HMI harus mampu menjadi mobilisator setiap perjuangan masyarakat untuk senantiasa menegakan keadilan dan memberantas setiap otoritarianisme di tengah-tengah masyarakat. Bersatunya masyarakat dan Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI) terlihat jelas ketika hendak menghancurkan rezim orde baru (masa Soeharto) ditahun 1998. Idealisme perjuangan yang ditunjukan anak-anak HMI menjadikan masyarakat interest untuk kemudian melahirkan Polarisasi masyarakat yang pada akhirnya merapatkan barisan dengan HMI untuk berjuang bersama-sama mengancurkan rezim otoriter itu.

Banyak sudah yang ditorehkan HMI kepada para kadernya bahkan Viktor Immanuael Tanja pernah melabelkan organisasi ini sebagai organisasi pembaharu bahkan merupakan organiasi yang menjadi harapan ummat dan bangsa ini. Perlahan citra yang pernah dilabelkan Victor immanuael Tanja mulai memudar. Organiasi yang konon sempat menjadi anak kandung ummat ini seolah-olah telah menjauh dari induknya. Ummat yang seharusnya menjadi focus perjuangan telah beralih menjadi alat perjuangan sebahagaian kader HMI untuk mengeruk keuntungan politik dan financial. Atas nama rakyat dan ummat sebahagian mereka mencari bargaining position dihadapan para penguasa dan pembesar dinegeri ini. Dan itulah yang terjadi ditubuh HMI saat ini.

Nilai-nilai ke-Islaman yang seharusnya menjadi landasan berpijak tidak lagi kentara, yang ada hanyalah political interest, bargaining position bahkan segala cara dapat dilakukan untuk mewujudkan keuntugan pribadi dan keuntungan politik. Untuk diketahui bahwa setidaknya ada dua entitas yang saling bersikukuh dan bertarung ditubuh internal HMI hingga kini, dua kubu itu adalah Struktural interest dan Cutural Interest. Structural interest adalah kubuh yang berpikiran kekuasaan bahkan dengan segala cara mereka lakukan untuk meraih kekuasaan. Sedangkan Cultural Interest adalah kubu yang senantiasa membangun dunia intelektualitas, mengedepankan ilmu dan wacana-wacana ilmiah di setiap aksi-aksinya. Yang terjadi adalah lambat laut Cultural Interest semakin menarik diri dari lingkungan kekuasaan (strultural) untuk kemudian mencari entitas sendiri. Seperti lebih memilih mengurus Lembaga pengelola dan Latihan (LPL) HMI, menjadi Seniour Course (SC), bahkan banyak diantara mereka yang menarik diri secara total dari kepengurusan HMI.

Hal inilah yang terjadi dibeberapa Cabang HMI diIndonesia, seperti cabang HMI Ciputat, Jakarta, Semarang ataupun Yogyakarta dan beberapa Cabang yang lainnya diIndonesa. Bermunculannya organisasi-organisasi semisal Forum Mahasiswa CIPUTAT (FORMACI), FORKOT,FEMRED, LKIS, bahkan JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah buah dari kejenuhan mereka terhadap nuansa kekuasaan yang terjadi ditingkat Cabang bahkan PB HMI. Diakui atau tidak sebagian besar dari mereka yang menyebrang menuju organiasi tersebut adalah anak-anak muda HMI yang bosan dan jenuh dengan yang terjadi ditubuh organisasi ini (baca:HMI).

Sehingga dapat ditebak ketika organisasi ini ditinggalkan oleh orang-orang yang berpikiran cultural, maka yang tersisa adalah orang-orang dungu, yang hanya mencari kekuasaan. Orang-orang dungu inilah yang kemudian memimpin HMI satu dasawarsa terakhir ini. Akibatnya organisasi ini menjadi mandul baik pemikiran, intelektualitas bahkan menjadi organiasi yang tidak beradab. Tidak mengherankan beberapa tahun yang lalu ketika HMI mengadakan Kongres di Semarang Alm Nur Kholis Madjid mantan ketua PB HMI dua priode mengatakan bubarkan saja HMI. Kontan hal tersebut membuat anak-anak HMI bak kebakaran jenggot. Namun, Perkataan Cak Nur bukanlah tanpa alasan hilangnya vitalitas intelektual, semakin bobroknya moral anak-anak HMI menjadikan organiasi ini tidak lagi memiliki daya dan identitas lagi. Bahkan IMAM Y THOHARI mantan ketua PP Muhammadiyah suatu waktu pernah mengatakan “bahwa dalam satu dasawarsa terakhir ini Himpunan mahasiswa Islam telah kehilangan sibghah ke-Islamannya baik dari segi pengamalan dan aktifitas ke-islaman dari segi pengamalan keIslaman anak-anak HMI jauh dibandingkan organisasi semisal KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam)” bahkan meminjam istilah kakanda Nur Kholis Madjis HMI kini tidak lagi memiliki Striking Moral Force (Daya Dobrak).

Kenyataan itu menjadikan kader-kader HMI terombang-ambing ditengah lautan pemikiran dan pergerakan. Ditengah maraknya organiasi-organiasi lain yang bermunculan ternyata HMI tidak cukup kukuh untuk eksis ditengah-tengah para kompetitornya.Tidak untuk membandingkan dua organisasi Islam lain. Dalam tataran aksi dan pemikiran kader-kader HMI kelihatannya mulai jauh ditinggalkan oleh KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam) ataupun JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Diakui atau tidak dua oransiasi ini cukup diminati oleh sebagian Mahasiswa Islam akihr-akhir ini meminjam stereotipe Kakanda Azhari Akmal Tarigan (Staf Pengajar IAIN Sumut) kalau ingin menjadi mahasiswa Islam yang kaffah maka masuklah KAMMI namun kalau ingin pandai berapologi maka masuklah HMI. Stereotipe ini bisa diterima bisa juga tidak, namun kenyataannya dapat kita terima. Lihat saja banyaknya Mahasiswa Islam yang masuk dan menjadi anggota HMI kelihatan tidak jelas kepribadian dan pemikiran ke-islamannya, bahkan banyak diantara mereka yang tidak jelas moral dan akhlaknya.

Hilangnya Vitalitas HMI tidak hanya terlihat dari pemikiran ke-Islamannya namun juga intelektualitas, dan nuansa berpikir kritisnya. Diskusi-diskusi ilmiah, maupun klub-klub kajian yang menjadi program kerja HMI ditingkat Komisariat tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal budaya diskusi dan kajian-kajian ilmiah tersebut merupakan program kerja yang sangat penting ditingkat akar rumput. Hilangnya budaya diskusi, debat dan kajian-kajian ilmiah baik kajian ke-Islaman maupun kebangsaan jelas akan meyumbat nuansa intelektual ditengah-tengah kader HMI. Hal tersebut semakin diperparah dengan semakin kaburnya wajah ke-Islaman anak-anak Himpunan. Islam yang seharusnya minjadi motor dan motivasi pergerakan ternyata tidak lagi kentara, tidak untuk menjustifikasi persoalan, kelihatannya kader-kader HMI sangat menyepelekan aspek yang maha penting ini.

Sudah dapat ditebak ketika aspek ke-Islaman tidak lagi dijadikan sebagai motivasi dalam beraktualisasi maka yang terjadi adalah Split of personality, setiap aktifitas yang dlakukan tidak akan mempertimbangkan aspek kebenaran, nilai dan ketatasusilaan. Dan ini yang terjadi belakangan ini. Penghalalan politik ditingkat akar rumput mulai sering terjadi, kader-kader HMI ditingkat Komisariat yang seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis malah sering terjebak oleh aktifitas alumninya untuk berbondong-bondong andil dalam setiap perhalatan politik. Begitu juga dengan Cabang HMI. Sejatinya, Cabang HMI menjadi tempat aktifitas perkaderan dan bertanya kader-kader Komisariat, malah kini telah berobah fungsi menjadi kerumunan manusia yang tidak memiliki vitalitas lagi. Tarik menariknya kepentingan ditingkat Badko bahkan PB HMI semakin memperparah organisasi Mahasiswa ini.

Banyaknya manusia-manusia yang tidak lagi menyandang sebagai status Mahasiswa, bahkan Mahasiswa-mahasiswa yang tidak jelas bertebaran ditingkat Badko bahkan PB HMI. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi internal HMI yang selalu tarik menarik kekuasaan, tidak heran dalam satu periodesasi terjadi beberapa kali pergantian kepengurusan. Hal itu sangat wajar karena mereka bukan lagi mahasiswa ideal tapi mahasiswa gentayangan yang tidak jelas statusnya dan mendompleng HMi hanya untuk meraih keuntungan dan kekuasaan. Banyaknya polemik HMI ditingkat Komisariat, Cabang, Badko bahkan PB HMI seharusnya menjadikan kader-kader HMI sadar betap kondisi ini sudah diujung tanduk. Mengatakan HMI telah mati dan tidak lagi berdaya juga tidak arif dikarenakan masih banyaknya kader yang masih ideal dan terus memperjuangkan idealisme dan mission HMI.

Sejatinya, kader-kader HMI kembali melakukan Reorientasi pergerakan, melakukan muhasabah dan interopeksi menyeluruh terhadap setiap aktiftas dan perjuangan yang telah dilakukan selaman ini. Malu dan pongah untuk mengatakan kemunduran dan kemandulan pergerakan HMI selama ini hanya akan memperparah kondisi yang ada, untuk tidak dikatakan tercabik-cabik menjadi organisasi tanpa daya untuk kemudian menjadi organisasi yang hilang dari peta pergerakan Mahasiswa.

AGENDA AKSI MENUJU EKSISTENSI

Turbulensi yang terjadi ditengah-tengah Himpunan Mahasiswa Islam merupakan persoalan yang cukup serius yang jika tidak segera dibenahi akan semakin memporak-porandakan organisasi yang sempat besar dan jaya ini. Sudah saatnya kader-kader HMI bangun dari tidur yang teramat panjang, kembali tergugah dan melakukan otokritik internal dan eksternal organisasi meminjam analogi Kakanda Kusmin, M.Pd ( Penulis dan Mantan Pengurus HMI Cab. Medan) biarkan HMI bubar tapi jangan ditangan anda, begitupun ketika anda selesai dikepengurusan HMI katakan kepada kepengurusan yang baru biarkan HMI bubar tapi jangan ditangan anda dan begitu seterusnya. Ini artinya apapun yang terjadi dengan HMI hari ini jangan sampai bubar ditangan anda.

Analogi tersebut cukup baik untuk dipikirkan oleh kader-kader HMI yang masih menjadi pengurus terutama ditingkat Komisariat, titik penekanan persoalan HMI ada pada Komisariat, karena Komisariat merupakan Basic demand HMI yang akan menyuplai kader-kader tangguh harapan ummat Islam dan bangsa ini. Baik buruknya HMI ditingkat Cabang dan PB marupakan cerminan HMI ditingkat Komisariat. Untuk itu kader-kader HMI harus segera melakukan otokritik guna membangun kembali imunitas kekuatan HMI, trauma akan kejayaan dan kebesaran masa lalu hanya akan menambah kehancuran organiasi ini.

Untuk itu sudah saatnya Himpunan Mahasiswa Islam back to basic, melakukan otokritik dengan kembali menyusun langkah-langkah strategis guna mengusung aksi-aksinya kedepan.
Ada 2 (dua) agenda aksi yang semestinya harus dilakukan kader-kader HMI untuk mengembalikan eksistensi HMI kembali:

Pertama, Reaktualisasi Spirit ke-Islaman. Spirit ke-islaman merupakan bagian yang pertama agenda aksi yang harus dilakukan kader HMI meminjam istilah Imam Al-Qardhawi sebagai Militansi keber-Islaman, ini memberikan gambaran bahwa apapun aktifitas yang dilakuakan tanpa berpijak dari aturan Islam maka aktifitas yang dilakukan akan jauh dari koridor kebenaran.

Militansi keber-Islaman adalah hal yang sangat essensi bagi ruh aktifitas pergerakan, tanpa itu maka pergerakan HMI tidak akan memiliki ruh dan wibawa. Militansi keber-Islaman akan menyulut setiap kader untuk terus maju mempertahankan dan memperjuangkan idealisme. Semangat idealisme yang disulut oleh semangat keber-islaman akan melahirkan kekuatan ruhani yang luar biasa yang pada gilirannya melahirkan kekuatan aksi yang sangat dasyat.

Perjuangan HMI ditengah imperialisme barat diawal-awal kemerdekaan, ketika menentang komunisme dan dekrit presiden 5 juli 1955 ataupun ketika ummat Islam terjebak pada sinkritisme maupun pemahaman Islam yang zumud, bahkan ketika Negara ini diperintah oleh rezim orde baru yang otoriter ditahun 1998 HMI tampil terdepan dengan semangat yang berapi-api. Hal ini terjadi karena kader-kader HMI disulut oleh militansi keber-Islaman, sehingga betapapun besar perjuangan yang dilakukan tidak mengendorkan semangat dan perjuangan kader-kader HMI.

Namun seiring dengan perubahan dan arus deras reformasi yang tak kunjung usai militansi itu seolah-oleh hilang ditelan waktu. Lenyap tak berbekas. Bahkan kini kader-kaer HMI mengalami kekeringan spiritual yang luar biasa. Kehampaan spiritual ini menyebabkan seluruh aktifitas yang dilakukan tidak memilliki dampak yang krusial bagi para kadernya. Kegiatan yang dilakukan hanya sebatas ceremoniall ritual belaka, bahkan aksi-aksi yang dilakukan kadang membuat kita malu. Lihat saja aksi-aksi yang dilakukan beberapa kader HMI dilapangan seperti ayam yang kehilangan induknya, morat-marit, tidak jelas masanya, bahkan tidak jelas apa yang diperjuangkan, malah banyak yang diperjuangkan adalah permasalahan politk bukan persoalan kebangsaan dan keummatan yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Hal itu tentu sangat berbanding terbalik dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh aktifis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim). Limpah riuhnya massa organisasi yang sempat dicap ekslusif ini dimana-mana. Bahkan dengan satu komando mereka dapat mengumpulkan massa yang cukup besar disetiap aksi-aksinya, yang mereka perjuangankan pun sangat jelas dan sangat terasa dengan denyut nadi kehidupan ummat. Tidak heran jika aksi-aksi mereka senantiasa ditakuti oleh para koruptor bahkan para elit nakal dinegeri ini. Mereka seolah-olah sadar betul bahwa militansi keber-Islaman adalah modal yang sangat besar untuk beraktifitas.

Untuk itu para kader Himpunan Mahasiswa Islam harus kembali menumbuhkan militansi keber-Islaman itu. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan untuk kembali membangun ghirah keber-Islaman HMI.
Pertama, kembali kepada mesjid, artinya Himpunan Mahasiswa Islam harus kembali meletakan bazis perjuangan HMI ke mesjid-mesjid kampus. Dengan menjadikan mesjid kampus sebagai base camp perekrutan dan penyampaian misi organisasi. Hal ini adalah wajar karena mesjid merupakan tempatnya orang-orang yang senantiasa beramal dan berbuat baik. Rekrutmen kader yang dilakukan dimesjid-mesjid merupakan upaya yang sangat baik untuk melahirkan kaer-kader HMI yang berjiwa militan.

Kesalahan pola rekrutmen kader yang dilakukan selama ini harus diubah. Rekrutmen yang dilakukan di kantin-kantin kampus, kafe-kafe, tempat-tempat nongkrong mahasiswa tidak cukup efektif untuk melahirkan kader-kader yang berjiwa militan walaupun tetap harus dilakukan.

Aktifitas-aktifitas ke-Islaman pun seharusnya juga digiring dilakukan dimesjid-mesjid kampus. Yang terjadi hari ini adalah setiap aktifitas HMI senantiasa dilakukan dihotel-hotel mewah, diaula-aula mewah bahkan auditorium-auditorium kampus yang efeknya adalah kader-kaer HMI ataupun Objek rekrutmen HMI tidak akan merasakan ukhuwah Islamiyah bahkan tidak akan merasakan nuansa keber-Islaman yang seharusnya menjadi focus aktifitas HMI.

Oleh karena itu sudah saatnya para kader Himpuanan Mahasiswa Islam kembali mendekatkan diri kemesjid-mesjid kampus, membangun strategi dan taktik (stratak) jitu untuk kembali menggairahkan aksi dan perjuangan HMI.

Kedua, Melakukan Monitorting kader. Sudah saatnya HMI menciptaan kembali budaya diskusi (klub kajian) ataupun yang sejenis itu seperti pada masanya Ahmad Wahib, dkk dengan klub kajian yang cukup populer ketika itu (Limited Group). Dengan adanya klub –klub kajian itu maka para calon kader ataupun kader yang akan dibentuk akan merasa termonitor sehingga pada gilirannya akan mudah untuk mengarahkan dan menanamkan doktrinisasi kepada para calon kader dan kader tersebut. Dengan melaukukan monitoring kader maka pengurus teras akan tahu apa sebenarnya keiginan dan kebutuhan para kadernya. Sehingga dapat dijadikan jalan keluarnya. Monitoring kader dilakukan bukan untuk mengintai para kader HMI ataupun mematai setiap aktifitas mereka, namun memberikan perhatian dan mencoba memahami keluh dan kesah mereka sehingga semakin meningkatkan hubungan simbosis mutualisme diantara para kadernya.

Kedua, melakukan revitalisasi nilai-nilai inteletual, tanpa disadari aroma kritis, progresif dan debat kader-kader HMI sudah tidak menganga lagi. Ibarat singa sudah tidak bernyali lagi. Singa itu kini sudah tua bahkan wacana-wacana ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang menjadi garapan utama kader-kader HMI sudah tidak kentara lagi. Semakin merosotnya aktifitas intelektual kader HMI tercermin disetiap aktifitas komisariat.

Budaya diskusi, debat, forum-forum ilmiah, seminar bebas bahkan klub-klub kajian intensif sudah jarang terdengar lagi. Tidak untuk membandingkan, namun sebagai bahan insteropeksi saja, maraknya kajian-kajian ke-Islaman yang dilakukan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) semisal mentoring, kajian islam, muhasabah ataupun dengan liqa’annya yang intensive menghantarkan organiasi ini meninggalkan HMI cukup jauh. Bahkan tidak hanya organisasi semisal LDK ataupun KAMMI yang mengalami perkembangan intelektual yang cukup pesat, namun juga organisasi Mahasiswa yang lain semisal PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) ataupun JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).

Bergairahnya pemikiran intelektual baik ke-Islaman ataupun ke-Indonesiaan ditengah anak-anak muda NU akhir-akhir ini, terlepas dari pemikiran mereka yang masih debatable (masih diperdebatkan) bahkan cenderung liberal cukup menghentak kita semua. Betapa tidak konon organisasi PMII dengan NU-nya diklaim sangat tradisional dan menjaga hal-hal baru kini terlihat begitu terbuka dan toleran dengan sekian banyak pemikiran yang ada. Ada beberapa tokoh muda NU yang cukup disoroti akhir-akhir ini sebut saja, Zuhairi Misrawi, Nong Darul Mahmada, Khalik Ridwan, Zuly Qodir, Hamid Basyaib, Luthfi Asy-syaukani ataupun Ulil Abshar Abdalla yang disebut sebut sebagai dedengkotnya JIl (jaringan Islam Liberal). Nama-nama tersebut hanya sederetan kader-kader muda NU yang mewarnai blantika intelektualitas.

Mereka ternyata tidak hanya sekedar membebek dengan pemikiran yang ada, namun mampu menawarkan dan mengusung kerangka ideologi berpikir baru, yang lepas dari tekanan dan intervensi pihak lain. Sebut saja, Nur Khalik Ridwan yang menulis buku tentang kritiknya terhadap Nalar Inklusifisme Cak Nur, yang menurutnya inklusifisme pemikiran Cak Nur ternyata menguntungkan kaum borjuis (kaum kaya), sementara kaum proletar atapun masyarakat miskin tetap dalam posisi yang tidak diuntungkan. begitu juga dengan anak-anak muda Muhammdiyah berkembangya pemikiran intelektual mereka tidak hanya sebatas pada konsep-kosep furuiyah semata tetapi mereka berani memasuki wilayah- pemikiran yang dianggap tabu dan pantang itu diaktualisasikan.

Pertanyaannya kemudian adalah dimana para intelektual HMI, sudah bukan saatnya kader –kader HMI membangga-banggakan generasi tua semacam Nur Kholis Madjid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Azzyumardi Azra, ataupun Anas Urbaningrum. Kita sempat bangga ketika Anas Urbaningrum menerbitkan sebuah buku mengenai Ranjau-ranjau Reformasi dan itu sebuah harapan akan bangkitnya intelektualitas ditengah-tengah kader HMI. Namun, persoalannya Anas tidak sebanding dengan anak-anak muda NU ataupun ataupun anak-anak JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang rata-rata kelahiran tahun 70 -an sedangkan Anas kelahiran tahun 60-an.

Untuk itu sudah saatnya kader HMI kembali melakukan Revitalisasi nilai-nilai intelektual, kemballi mengasah intelektualitas dengan berbagai model kajian dan pengembangan pemikiran. Sudah saatnya budaya diskusi kembali digairahkan kembali, group-group terbatas perlu dikembangkan kembali seperti pada dekade 70 an ketika Ahmad Wahib dan kawan-kawan mendirikan Limited Group. Melalui klub-klub kajian yang kontiniu ini semangat intelektualitas kader-kader HMI akan bangit kepermukaan.

PENUTUP

Sebagai sebuah organisasi yang lahir dari rahim sejarah bangsa Indonesia, 60 tahun sudah HMI menorehkan kesejaharaannya di tanah Air ini, kini HMI dihadapkan pada sekian banyak persoalan ke-ummatan dan kebangsaan yang tak kunjung usai. Idealnya organisasi ini dapat tumbuh dan terus maju dikarenakan telah cukup matang dan dewasa ketika berhadapan dengan sekian pesoalan tersebut.

Namun, apa lacur kedewasaaan ternyata bukan jaminan organisasi ini dapat terus eksis ditengah denyut nadi ummat yang kian bergemuruh. Berbagai polemik dan persoalan baik internal maupun eksternal terus menggelayut ditubuh organisasi ini. Persoalan-persoalan itu tidak hanya bias dari kebobrokan sebahagian kadernya, namun juga sistem dan pola perkaderan yang ada. Diakui atau tidak 60 tahun sudah HMI menancapakan hegemoninya ditengah-tengah turbulensi kebangsaan dan selama itu juga pola perkaderan tidak pernah berubah. Sehingga yang terjadi adalah kejenuhan dan kebosanan kader-kader HMI dalam beraktualisasi .

Sejatinya, hal itu tidak terjadi ketika para pengurus HMI benar-benar memahami konstitusi HMI dengan baik, pemahaman yang rigid terhadap konstitusi HMI hanya akan menjadikan kader HMI malas untuk melakukan berbagai perubahan signifikan menyangkut sistim dan pola perkaderan. Sehingga sudah saatnya HMI kembali merajut sistem perkaderan yang baik, membangun pola rekrutmen serta melakukan manajemen aksi guna mempertaruhkan eksistensi organisasi ini ditengah percaturan kehidupan kebangsaan.

Penulis adalah Mantan Pengurus HMI Cab. Medan dan Kordinator Pendidikan dan Sosial LSM KAN (Karisma Anak negeri) Kota Medan

MERAJUT AGENDA AKSI MENUJU EKSISTENSI : TURBULENSI HMI DITENGAH PERCATURAN WACANA DAN AKSI KEBANGSAAN

Oleh : Asrul Nasution, S.Pd

Abstract

It can’t be denied that this article is far from the scientific writing and research methodology. this is made because of the responsibillity of the writer for the problem in HMI (Islamic of Muslim Organization). This is made by deskriftive reactive analyses. A reactive that describes how the srtuggle can’t go on. In the other side show us that the existencies of HMI is the responsibility of the members. Therefore, the cadres must be aware that the striving still long and long and theres is a grand desing which must be done in the future.
The grand design is action.

PENDAHULUAN

Melangkah dari sebuah kepingan keberanian dan pengetahuan yang ala kadarnya manusia kerap berspekulasi untuk berbuat an sich apa yang ingin dicapainya, populis dan kerap mercusuar menurut dirinya. Namun, disisi yang lain manusia melupakan sebuah agenda yang maha penting yang merupakan granda designd ¬ aktifis pergerakan. Agenda itu tak lain adalah aksi.

Aktifitas mahasiswa kerap diklaim memiliki misi perjuangan yang amat luhur, bahkan kerap dilabelkan sebagai pelopor idealisme, penegak kebenaran, penyulut demokratisasi bahkan penggerak reformasi dan perubahan. Peran yang signifikan itulah yang menyebabkan mahasiswa senantiasa ditunggu aksi dan perjuangannya.

Masyarakat kerap menanti dan memperhatikan setiap gerak dan aksi-aksi mahasiswa Indonesia yang terpolarisasi dengan ide-ide pembaharuan dan pergerakan para pendahulunya. Sebut saja, Soekarno – Hatta. Kedua icon itulah yang sangat luar biasa membius pemikiran mahasiswa untuk senantiasa kritis terhadap situasi dan kondisi kebangsaan yang ada. Baru setelah itu bermunculan icon-icon yang lailn yang juga mengusung jargon-jargon yang sama.

Bermunculannya jargon pengusung ide-ide kebangsaan merupakan angin segar bagi perjuangan pergerakan kebangsaan bangsa Indonesia. Bahkan entitas pergumulan ide-ide kebangsan semakin menjamur, sebut saja Indische Partij, Budi Utomo, Kihajar Dewantara, dsb. Bahkan pergumulan kekuatan Islam juga tak ketinggalan untuk menancapkan hegemoninya ditengah-tengah sejarah emas perjuangan kebangsaan bangsa Indonesia. Diantaranya adalah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Sarikat Islam bahkan pergumulan pemikiran kontemporer yang cenderung progresif dan inclusive semisal Persis juga turut andil dalam wilayah diametral perjuangan kebangsaan.

Corak pemikiran anak-anak persis rupanya cukup diminati oleh sebagaian mahasiswa Indonesia, bahkan berlahan namun pasti corak pemikiran (baca-kontemporer) selah-olah menjadi trade-mark aktifis pergerakan.

Salah satu organisasi Mahasiswa yang cukup menggandrungi corak pemikiran tersebut tidak lain adalah anak-anak Himpuan Mahasiswa Islam (HMI). Bermula dari sebuah pergumulan anak-anak muda Islam, seolah menemukan jati dirinya, pergumulan itu mengubah dirinya menjadi organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari seorang Lafran Fane HMI didirikan pada tanggal 5 juli 1947, ditengah-tengah polemik memperjuangakan eksistensi kemerdekaan, ditengah aneksasi komunisme, pengegerogotan idealisme bahkan aneksasi imperealisme, HMI muncul menawarkan solusi kebangsaan dan keber-agamaan.

Bahkan dalam konstitusi HMI sangat jelas digambarkan tujuan HMI, yaitu sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang diridhai oleh Allah Swt . landasanya sangat jelas karena dibingkai oleh azas ke-Islaman, itu artinya bahwa Islam menjadi acuan dalam setiap pergerakan dan aksi para kader-kadernya.
Entittas ke-Islaman HMI bukanlah Islam yang menghardik atau bahkan menyalahkan pemahaman ke-Islaman umat yang lain, ataupun tidak untuk menggurui tentang islam, atau mengajarkan masyarakat tentang segala macam tetek benget persoalan fikih klasik, namun kehadiran pemikiran ke-Islaman HMI adalah untuk memberikan dorongan dan spirit keber-Islaman, dalam artian bahwa Islam adalah motivasi kehidupan, dari sana manusia berasal dan kembali. Islam dijadikan sebagai kekuatan spiritual (spiritual power) dan spirit organisasi. Pencerahan pemahaman ke-Islaman yang tidak rigid, kaku bahkan jumud merupakan pemahaman keber-Islaman yang hendak disampaikan HMI.

Hal ini jelas telah digambarkan oleh NDP (Nilai dasar perjuangan ) HMI yang dahulu disebut sebagai NIK (Nilai Identitas Kader). Bahwa dalam setiap aksi dan perjuangannya Himpunan Mahasiswa Islam senantiasa mengedepankan Islam sebagai dasar perjuangan. Dasar berpijak inilah yang menjadikan kader-kader HMI menjadi manusia yang utuh, tidak menjadi pribadi yang rapuh (split of personality). HMI memandang bahwa keber-Islaman seseorang tidak diukur dari simbolitas keberagamaannya, namun dari essensialitas aktifitas seseorang. Tidak dari teoiritisasi dan seabrak fatwa dan petuah ke-ber-Islaman namun seberapa jauh nilai-nilai ke-Islaman seseorang dapat mempengaruhi gerak kehidupannya kemudian seberapa kuat nilai ke-Islaman dapat menghancurkan realitas kemungkaran dan kezhaliman yang ada. Seolah-olah pemahaman keber-Islaman HMI hendak menyampaikan bahwa Islam adalah Agama yang toleran, damai dan senantiasa menghargai perbedaan.

Citra inklusifitas inilah yang menyebabkan organisasi Mahasiswa ini (baca:HMI) cukup diminati oleh anak-anak Muda Kampus ketika itu. Berbondong-bondong Mahasiswa Islam masuk menjadi anggota Muda HMI bahkan dengan semangat yang berapi-api mereka mengikuti jenjang training HMI yang cukup popular hingga kini, training itu tidak lain adalah Basic Training (LK1), melalui Basic Training (LK1) inilah bermunculan potensi-potensi besar yang kedepan menjadi orang besar dan menghentak blantika pemikiran ke-Islaman dan kebangsaan di tanah air ini.

Banyak orang ketika itu mengatakan bahwa Basic Training (LK1) merupakan kawah candradimuka anak-anak Himpunan (Baca:HMI). Training yang menjadi prasyarat seorang anggota Muda HMI untuk menjadi anggota biasa HMI telah begitu banyak memberikan konstribusi pemikiran kepada para kadernya. Dimulai dari bagaimana cara seseorang harus berpikir dan mengeluarkan pendapat secara sistematis, memahami konsep Islam secara universal dengan tidak menyalahakan konsepsi Islam yang lain, mencoba untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dari alur reformasi, bahkan Training ini membuka pemikiran dan menyadarkan kader yang berasal dari berbagai latar belakang Mahasiswa ini untuk menyikapi realitas kemungkaran yang ada untuk senantiasa menjadikan masyarakat sebagai focus dan misi perjuangan HMI.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sadar betul bahwa the ultimate goal dari perkaderan ini adalah masyarakat. Dan itulah sebenarnya yang hendak disampaikan di setiap training-training HMI. HMI harus mampu menjadi mobilisator setiap perjuangan masyarakat untuk senantiasa menegakan keadilan dan memberantas setiap otoritarianisme di tengah-tengah masyarakat. Bersatunya masyarakat dan Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI) terlihat jelas ketika hendak menghancurkan rezim orde baru (masa Soeharto) ditahun 1998. Idealisme perjuangan yang ditunjukan anak-anak HMI menjadikan masyarakat interest untuk kemudian melahirkan Polarisasi masyarakat yang pada akhirnya merapatkan barisan dengan HMI untuk berjuang bersama-sama mengancurkan rezim otoriter itu.

Banyak sudah yang ditorehkan HMI kepada para kadernya bahkan Viktor Immanuael Tanja pernah melabelkan organisasi ini sebagai organisasi pembaharu bahkan merupakan organiasi yang menjadi harapan ummat dan bangsa ini. Perlahan citra yang pernah dilabelkan Victor immanuael Tanja mulai memudar. Organiasi yang konon sempat menjadi anak kandung ummat ini seolah-olah telah menjauh dari induknya. Ummat yang seharusnya menjadi focus perjuangan telah beralih menjadi alat perjuangan sebahagaian kader HMI untuk mengeruk keuntungan politik dan financial. Atas nama rakyat dan ummat sebahagian mereka mencari bargaining position dihadapan para penguasa dan pembesar dinegeri ini. Dan itulah yang terjadi ditubuh HMI saat ini.

Nilai-nilai ke-Islaman yang seharusnya menjadi landasan berpijak tidak lagi kentara, yang ada hanyalah political interest, bargaining position bahkan segala cara dapat dilakukan untuk mewujudkan keuntugan pribadi dan keuntungan politik. Untuk diketahui bahwa setidaknya ada dua entitas yang saling bersikukuh dan bertarung ditubuh internal HMI hingga kini, dua kubu itu adalah Struktural interest dan Cutural Interest. Structural interest adalah kubuh yang berpikiran kekuasaan bahkan dengan segala cara mereka lakukan untuk meraih kekuasaan. Sedangkan Cultural Interest adalah kubu yang senantiasa membangun dunia intelektualitas, mengedepankan ilmu dan wacana-wacana ilmiah di setiap aksi-aksinya. Yang terjadi adalah lambat laut Cultural Interest semakin menarik diri dari lingkungan kekuasaan (strultural) untuk kemudian mencari entitas sendiri. Seperti lebih memilih mengurus Lembaga pengelola dan Latihan (LPL) HMI, menjadi Seniour Course (SC), bahkan banyak diantara mereka yang menarik diri secara total dari kepengurusan HMI.

Hal inilah yang terjadi dibeberapa Cabang HMI diIndonesia, seperti cabang HMI Ciputat, Jakarta, Semarang ataupun Yogyakarta dan beberapa Cabang yang lainnya diIndonesa. Bermunculannya organisasi-organisasi semisal Forum Mahasiswa CIPUTAT (FORMACI), FORKOT,FEMRED, LKIS, bahkan JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah buah dari kejenuhan mereka terhadap nuansa kekuasaan yang terjadi ditingkat Cabang bahkan PB HMI. Diakui atau tidak sebagian besar dari mereka yang menyebrang menuju organiasi tersebut adalah anak-anak muda HMI yang bosan dan jenuh dengan yang terjadi ditubuh organisasi ini (baca:HMI).

Sehingga dapat ditebak ketika organisasi ini ditinggalkan oleh orang-orang yang berpikiran cultural, maka yang tersisa adalah orang-orang dungu, yang hanya mencari kekuasaan. Orang-orang dungu inilah yang kemudian memimpin HMI satu dasawarsa terakhir ini. Akibatnya organisasi ini menjadi mandul baik pemikiran, intelektualitas bahkan menjadi organiasi yang tidak beradab. Tidak mengherankan beberapa tahun yang lalu ketika HMI mengadakan Kongres di Semarang Alm Nur Kholis Madjid mantan ketua PB HMI dua priode mengatakan bubarkan saja HMI. Kontan hal tersebut membuat anak-anak HMI bak kebakaran jenggot. Namun, Perkataan Cak Nur bukanlah tanpa alasan hilangnya vitalitas intelektual, semakin bobroknya moral anak-anak HMI menjadikan organiasi ini tidak lagi memiliki daya dan identitas lagi. Bahkan IMAM Y THOHARI mantan ketua PP Muhammadiyah suatu waktu pernah mengatakan “bahwa dalam satu dasawarsa terakhir ini Himpunan mahasiswa Islam telah kehilangan sibghah ke-Islamannya baik dari segi pengamalan dan aktifitas ke-islaman dari segi pengamalan keIslaman anak-anak HMI jauh dibandingkan organisasi semisal KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam)” bahkan meminjam istilah kakanda Nur Kholis Madjis HMI kini tidak lagi memiliki Striking Moral Force (Daya Dobrak).

Kenyataan itu menjadikan kader-kader HMI terombang-ambing ditengah lautan pemikiran dan pergerakan. Ditengah maraknya organiasi-organiasi lain yang bermunculan ternyata HMI tidak cukup kukuh untuk eksis ditengah-tengah para kompetitornya.Tidak untuk membandingkan dua organisasi Islam lain. Dalam tataran aksi dan pemikiran kader-kader HMI kelihatannya mulai jauh ditinggalkan oleh KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam) ataupun JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Diakui atau tidak dua oransiasi ini cukup diminati oleh sebagian Mahasiswa Islam akihr-akhir ini meminjam stereotipe Kakanda Azhari Akmal Tarigan (Staf Pengajar IAIN Sumut) kalau ingin menjadi mahasiswa Islam yang kaffah maka masuklah KAMMI namun kalau ingin pandai berapologi maka masuklah HMI. Stereotipe ini bisa diterima bisa juga tidak, namun kenyataannya dapat kita terima. Lihat saja banyaknya Mahasiswa Islam yang masuk dan menjadi anggota HMI kelihatan tidak jelas kepribadian dan pemikiran ke-islamannya, bahkan banyak diantara mereka yang tidak jelas moral dan akhlaknya.

Hilangnya Vitalitas HMI tidak hanya terlihat dari pemikiran ke-Islamannya namun juga intelektualitas, dan nuansa berpikir kritisnya. Diskusi-diskusi ilmiah, maupun klub-klub kajian yang menjadi program kerja HMI ditingkat Komisariat tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal budaya diskusi dan kajian-kajian ilmiah tersebut merupakan program kerja yang sangat penting ditingkat akar rumput. Hilangnya budaya diskusi, debat dan kajian-kajian ilmiah baik kajian ke-Islaman maupun kebangsaan jelas akan meyumbat nuansa intelektual ditengah-tengah kader HMI. Hal tersebut semakin diperparah dengan semakin kaburnya wajah ke-Islaman anak-anak Himpunan. Islam yang seharusnya minjadi motor dan motivasi pergerakan ternyata tidak lagi kentara, tidak untuk menjustifikasi persoalan, kelihatannya kader-kader HMI sangat menyepelekan aspek yang maha penting ini.

Sudah dapat ditebak ketika aspek ke-Islaman tidak lagi dijadikan sebagai motivasi dalam beraktualisasi maka yang terjadi adalah Split of personality, setiap aktifitas yang dlakukan tidak akan mempertimbangkan aspek kebenaran, nilai dan ketatasusilaan. Dan ini yang terjadi belakangan ini. Penghalalan politik ditingkat akar rumput mulai sering terjadi, kader-kader HMI ditingkat Komisariat yang seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis malah sering terjebak oleh aktifitas alumninya untuk berbondong-bondong andil dalam setiap perhalatan politik. Begitu juga dengan Cabang HMI. Sejatinya, Cabang HMI menjadi tempat aktifitas perkaderan dan bertanya kader-kader Komisariat, malah kini telah berobah fungsi menjadi kerumunan manusia yang tidak memiliki vitalitas lagi. Tarik menariknya kepentingan ditingkat Badko bahkan PB HMI semakin memperparah organisasi Mahasiswa ini.

Banyaknya manusia-manusia yang tidak lagi menyandang sebagai status Mahasiswa, bahkan Mahasiswa-mahasiswa yang tidak jelas bertebaran ditingkat Badko bahkan PB HMI. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi internal HMI yang selalu tarik menarik kekuasaan, tidak heran dalam satu periodesasi terjadi beberapa kali pergantian kepengurusan. Hal itu sangat wajar karena mereka bukan lagi mahasiswa ideal tapi mahasiswa gentayangan yang tidak jelas statusnya dan mendompleng HMi hanya untuk meraih keuntungan dan kekuasaan. Banyaknya polemik HMI ditingkat Komisariat, Cabang, Badko bahkan PB HMI seharusnya menjadikan kader-kader HMI sadar betap kondisi ini sudah diujung tanduk. Mengatakan HMI telah mati dan tidak lagi berdaya juga tidak arif dikarenakan masih banyaknya kader yang masih ideal dan terus memperjuangkan idealisme dan mission HMI.

Sejatinya, kader-kader HMI kembali melakukan Reorientasi pergerakan, melakukan muhasabah dan interopeksi menyeluruh terhadap setiap aktiftas dan perjuangan yang telah dilakukan selaman ini. Malu dan pongah untuk mengatakan kemunduran dan kemandulan pergerakan HMI selama ini hanya akan memperparah kondisi yang ada, untuk tidak dikatakan tercabik-cabik menjadi organisasi tanpa daya untuk kemudian menjadi organisasi yang hilang dari peta pergerakan Mahasiswa.

AGENDA AKSI MENUJU EKSISTENSI

Turbulensi yang terjadi ditengah-tengah Himpunan Mahasiswa Islam merupakan persoalan yang cukup serius yang jika tidak segera dibenahi akan semakin memporak-porandakan organisasi yang sempat besar dan jaya ini. Sudah saatnya kader-kader HMI bangun dari tidur yang teramat panjang, kembali tergugah dan melakukan otokritik internal dan eksternal organisasi meminjam analogi Kakanda Kusmin, M.Pd ( Penulis dan Mantan Pengurus HMI Cab. Medan) biarkan HMI bubar tapi jangan ditangan anda, begitupun ketika anda selesai dikepengurusan HMI katakan kepada kepengurusan yang baru biarkan HMI bubar tapi jangan ditangan anda dan begitu seterusnya. Ini artinya apapun yang terjadi dengan HMI hari ini jangan sampai bubar ditangan anda.

Analogi tersebut cukup baik untuk dipikirkan oleh kader-kader HMI yang masih menjadi pengurus terutama ditingkat Komisariat, titik penekanan persoalan HMI ada pada Komisariat, karena Komisariat merupakan Basic demand HMI yang akan menyuplai kader-kader tangguh harapan ummat Islam dan bangsa ini. Baik buruknya HMI ditingkat Cabang dan PB marupakan cerminan HMI ditingkat Komisariat. Untuk itu kader-kader HMI harus segera melakukan otokritik guna membangun kembali imunitas kekuatan HMI, trauma akan kejayaan dan kebesaran masa lalu hanya akan menambah kehancuran organiasi ini.

Untuk itu sudah saatnya Himpunan Mahasiswa Islam back to basic, melakukan otokritik dengan kembali menyusun langkah-langkah strategis guna mengusung aksi-aksinya kedepan.
Ada 2 (dua) agenda aksi yang semestinya harus dilakukan kader-kader HMI untuk mengembalikan eksistensi HMI kembali:

Pertama, Reaktualisasi Spirit ke-Islaman. Spirit ke-islaman merupakan bagian yang pertama agenda aksi yang harus dilakukan kader HMI meminjam istilah Imam Al-Qardhawi sebagai Militansi keber-Islaman, ini memberikan gambaran bahwa apapun aktifitas yang dilakuakan tanpa berpijak dari aturan Islam maka aktifitas yang dilakukan akan jauh dari koridor kebenaran.

Militansi keber-Islaman adalah hal yang sangat essensi bagi ruh aktifitas pergerakan, tanpa itu maka pergerakan HMI tidak akan memiliki ruh dan wibawa. Militansi keber-Islaman akan menyulut setiap kader untuk terus maju mempertahankan dan memperjuangkan idealisme. Semangat idealisme yang disulut oleh semangat keber-islaman akan melahirkan kekuatan ruhani yang luar biasa yang pada gilirannya melahirkan kekuatan aksi yang sangat dasyat.

Perjuangan HMI ditengah imperialisme barat diawal-awal kemerdekaan, ketika menentang komunisme dan dekrit presiden 5 juli 1955 ataupun ketika ummat Islam terjebak pada sinkritisme maupun pemahaman Islam yang zumud, bahkan ketika Negara ini diperintah oleh rezim orde baru yang otoriter ditahun 1998 HMI tampil terdepan dengan semangat yang berapi-api. Hal ini terjadi karena kader-kader HMI disulut oleh militansi keber-Islaman, sehingga betapapun besar perjuangan yang dilakukan tidak mengendorkan semangat dan perjuangan kader-kader HMI.

Namun seiring dengan perubahan dan arus deras reformasi yang tak kunjung usai militansi itu seolah-oleh hilang ditelan waktu. Lenyap tak berbekas. Bahkan kini kader-kaer HMI mengalami kekeringan spiritual yang luar biasa. Kehampaan spiritual ini menyebabkan seluruh aktifitas yang dilakukan tidak memilliki dampak yang krusial bagi para kadernya. Kegiatan yang dilakukan hanya sebatas ceremoniall ritual belaka, bahkan aksi-aksi yang dilakukan kadang membuat kita malu. Lihat saja aksi-aksi yang dilakukan beberapa kader HMI dilapangan seperti ayam yang kehilangan induknya, morat-marit, tidak jelas masanya, bahkan tidak jelas apa yang diperjuangkan, malah banyak yang diperjuangkan adalah permasalahan politk bukan persoalan kebangsaan dan keummatan yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Hal itu tentu sangat berbanding terbalik dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh aktifis KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim). Limpah riuhnya massa organisasi yang sempat dicap ekslusif ini dimana-mana. Bahkan dengan satu komando mereka dapat mengumpulkan massa yang cukup besar disetiap aksi-aksinya, yang mereka perjuangankan pun sangat jelas dan sangat terasa dengan denyut nadi kehidupan ummat. Tidak heran jika aksi-aksi mereka senantiasa ditakuti oleh para koruptor bahkan para elit nakal dinegeri ini. Mereka seolah-olah sadar betul bahwa militansi keber-Islaman adalah modal yang sangat besar untuk beraktifitas.

Untuk itu para kader Himpunan Mahasiswa Islam harus kembali menumbuhkan militansi keber-Islaman itu. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan untuk kembali membangun ghirah keber-Islaman HMI.
Pertama, kembali kepada mesjid, artinya Himpunan Mahasiswa Islam harus kembali meletakan bazis perjuangan HMI ke mesjid-mesjid kampus. Dengan menjadikan mesjid kampus sebagai base camp perekrutan dan penyampaian misi organisasi. Hal ini adalah wajar karena mesjid merupakan tempatnya orang-orang yang senantiasa beramal dan berbuat baik. Rekrutmen kader yang dilakukan dimesjid-mesjid merupakan upaya yang sangat baik untuk melahirkan kaer-kader HMI yang berjiwa militan.

Kesalahan pola rekrutmen kader yang dilakukan selama ini harus diubah. Rekrutmen yang dilakukan di kantin-kantin kampus, kafe-kafe, tempat-tempat nongkrong mahasiswa tidak cukup efektif untuk melahirkan kader-kader yang berjiwa militan walaupun tetap harus dilakukan.

Aktifitas-aktifitas ke-Islaman pun seharusnya juga digiring dilakukan dimesjid-mesjid kampus. Yang terjadi hari ini adalah setiap aktifitas HMI senantiasa dilakukan dihotel-hotel mewah, diaula-aula mewah bahkan auditorium-auditorium kampus yang efeknya adalah kader-kaer HMI ataupun Objek rekrutmen HMI tidak akan merasakan ukhuwah Islamiyah bahkan tidak akan merasakan nuansa keber-Islaman yang seharusnya menjadi focus aktifitas HMI.

Oleh karena itu sudah saatnya para kader Himpuanan Mahasiswa Islam kembali mendekatkan diri kemesjid-mesjid kampus, membangun strategi dan taktik (stratak) jitu untuk kembali menggairahkan aksi dan perjuangan HMI.

Kedua, Melakukan Monitorting kader. Sudah saatnya HMI menciptaan kembali budaya diskusi (klub kajian) ataupun yang sejenis itu seperti pada masanya Ahmad Wahib, dkk dengan klub kajian yang cukup populer ketika itu (Limited Group). Dengan adanya klub –klub kajian itu maka para calon kader ataupun kader yang akan dibentuk akan merasa termonitor sehingga pada gilirannya akan mudah untuk mengarahkan dan menanamkan doktrinisasi kepada para calon kader dan kader tersebut. Dengan melaukukan monitoring kader maka pengurus teras akan tahu apa sebenarnya keiginan dan kebutuhan para kadernya. Sehingga dapat dijadikan jalan keluarnya. Monitoring kader dilakukan bukan untuk mengintai para kader HMI ataupun mematai setiap aktifitas mereka, namun memberikan perhatian dan mencoba memahami keluh dan kesah mereka sehingga semakin meningkatkan hubungan simbosis mutualisme diantara para kadernya.

Kedua, melakukan revitalisasi nilai-nilai inteletual, tanpa disadari aroma kritis, progresif dan debat kader-kader HMI sudah tidak menganga lagi. Ibarat singa sudah tidak bernyali lagi. Singa itu kini sudah tua bahkan wacana-wacana ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang menjadi garapan utama kader-kader HMI sudah tidak kentara lagi. Semakin merosotnya aktifitas intelektual kader HMI tercermin disetiap aktifitas komisariat.

Budaya diskusi, debat, forum-forum ilmiah, seminar bebas bahkan klub-klub kajian intensif sudah jarang terdengar lagi. Tidak untuk membandingkan, namun sebagai bahan insteropeksi saja, maraknya kajian-kajian ke-Islaman yang dilakukan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) semisal mentoring, kajian islam, muhasabah ataupun dengan liqa’annya yang intensive menghantarkan organiasi ini meninggalkan HMI cukup jauh. Bahkan tidak hanya organisasi semisal LDK ataupun KAMMI yang mengalami perkembangan intelektual yang cukup pesat, namun juga organisasi Mahasiswa yang lain semisal PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) ataupun JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).

Bergairahnya pemikiran intelektual baik ke-Islaman ataupun ke-Indonesiaan ditengah anak-anak muda NU akhir-akhir ini, terlepas dari pemikiran mereka yang masih debatable (masih diperdebatkan) bahkan cenderung liberal cukup menghentak kita semua. Betapa tidak konon organisasi PMII dengan NU-nya diklaim sangat tradisional dan menjaga hal-hal baru kini terlihat begitu terbuka dan toleran dengan sekian banyak pemikiran yang ada. Ada beberapa tokoh muda NU yang cukup disoroti akhir-akhir ini sebut saja, Zuhairi Misrawi, Nong Darul Mahmada, Khalik Ridwan, Zuly Qodir, Hamid Basyaib, Luthfi Asy-syaukani ataupun Ulil Abshar Abdalla yang disebut sebut sebagai dedengkotnya JIl (jaringan Islam Liberal). Nama-nama tersebut hanya sederetan kader-kader muda NU yang mewarnai blantika intelektualitas.

Mereka ternyata tidak hanya sekedar membebek dengan pemikiran yang ada, namun mampu menawarkan dan mengusung kerangka ideologi berpikir baru, yang lepas dari tekanan dan intervensi pihak lain. Sebut saja, Nur Khalik Ridwan yang menulis buku tentang kritiknya terhadap Nalar Inklusifisme Cak Nur, yang menurutnya inklusifisme pemikiran Cak Nur ternyata menguntungkan kaum borjuis (kaum kaya), sementara kaum proletar atapun masyarakat miskin tetap dalam posisi yang tidak diuntungkan. begitu juga dengan anak-anak muda Muhammdiyah berkembangya pemikiran intelektual mereka tidak hanya sebatas pada konsep-kosep furuiyah semata tetapi mereka berani memasuki wilayah- pemikiran yang dianggap tabu dan pantang itu diaktualisasikan.

Pertanyaannya kemudian adalah dimana para intelektual HMI, sudah bukan saatnya kader –kader HMI membangga-banggakan generasi tua semacam Nur Kholis Madjid, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Azzyumardi Azra, ataupun Anas Urbaningrum. Kita sempat bangga ketika Anas Urbaningrum menerbitkan sebuah buku mengenai Ranjau-ranjau Reformasi dan itu sebuah harapan akan bangkitnya intelektualitas ditengah-tengah kader HMI. Namun, persoalannya Anas tidak sebanding dengan anak-anak muda NU ataupun ataupun anak-anak JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang rata-rata kelahiran tahun 70 -an sedangkan Anas kelahiran tahun 60-an.

Untuk itu sudah saatnya kader HMI kembali melakukan Revitalisasi nilai-nilai intelektual, kemballi mengasah intelektualitas dengan berbagai model kajian dan pengembangan pemikiran. Sudah saatnya budaya diskusi kembali digairahkan kembali, group-group terbatas perlu dikembangkan kembali seperti pada dekade 70 an ketika Ahmad Wahib dan kawan-kawan mendirikan Limited Group. Melalui klub-klub kajian yang kontiniu ini semangat intelektualitas kader-kader HMI akan bangit kepermukaan.

PENUTUP

Sebagai sebuah organisasi yang lahir dari rahim sejarah bangsa Indonesia, 60 tahun sudah HMI menorehkan kesejaharaannya di tanah Air ini, kini HMI dihadapkan pada sekian banyak persoalan ke-ummatan dan kebangsaan yang tak kunjung usai. Idealnya organisasi ini dapat tumbuh dan terus maju dikarenakan telah cukup matang dan dewasa ketika berhadapan dengan sekian pesoalan tersebut.

Namun, apa lacur kedewasaaan ternyata bukan jaminan organisasi ini dapat terus eksis ditengah denyut nadi ummat yang kian bergemuruh. Berbagai polemik dan persoalan baik internal maupun eksternal terus menggelayut ditubuh organisasi ini. Persoalan-persoalan itu tidak hanya bias dari kebobrokan sebahagian kadernya, namun juga sistem dan pola perkaderan yang ada. Diakui atau tidak 60 tahun sudah HMI menancapakan hegemoninya ditengah-tengah turbulensi kebangsaan dan selama itu juga pola perkaderan tidak pernah berubah. Sehingga yang terjadi adalah kejenuhan dan kebosanan kader-kader HMI dalam beraktualisasi .

Sejatinya, hal itu tidak terjadi ketika para pengurus HMI benar-benar memahami konstitusi HMI dengan baik, pemahaman yang rigid terhadap konstitusi HMI hanya akan menjadikan kader HMI malas untuk melakukan berbagai perubahan signifikan menyangkut sistim dan pola perkaderan. Sehingga sudah saatnya HMI kembali merajut sistem perkaderan yang baik, membangun pola rekrutmen serta melakukan manajemen aksi guna mempertaruhkan eksistensi organisasi ini ditengah percaturan kehidupan kebangsaan.

Penulis adalah Mantan Pengurus HMI Cab. Medan dan Kordinator Pendidikan dan Sosial LSM KAN (Karisma Anak negeri) Kota Medan

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar